7 Hoaks seputar Nyamuk Ber-Wolbachia – Begini Faktanya
hoaks_nyamuk_Wolbachia_DBD

7 Hoaks seputar Nyamuk Ber-Wolbachia – Begini Faktanya

Berita bohong atau hoaks seputar nyamuk ber-Wolbachia makin liar. Tak ayal, ini menciptakan ketakutan hingga penolakan oleh sebagian kelompok masyarakat, dan bisa menghambat terlaksananya pilot project pelepasan nyamuk ber-Wolbachia yang akan dilakukan di Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, Bontang, dan Bali.

Nyamuk ber-Wolbachia adalah nyamuk A. aegypti yang diinjeksi oleh bakteri Wolbachia. Nyamuk A. aegypti sendiri merupakan vektor penularan virus dengue, yang bisa menyebabkan demam berdarah dengue (DBD). Sampai saat ini, kasus DBD masih tinggi di Indonesia, meski angka kematiannya sudah jauh berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu.

Dijelaskan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan RI dr. Imran Pambudi MPHM, secara garis besar ada tiga intervensi yang bisa dilakukan untuk mengatasi DBD. “Yaitu intervensi pada lingkungan, vektor, dan manusia,” ujarnya, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Ngobras dan Kementrian Kesehatan RI di Jakarta, Selasa (19/12/2023).

Intervensi lingkungan misalnya dengan memberantas sarang nyamuk, sedangkan intervensi ada manusia misalnya memakai losion anti nyamuk, dan melakukan vaksinasi dengue. Adapun intervensi pada vektor misalnya menggunakan zat kimia seperti bubuk abate untuk membasmi jentik nyamuk, dan fogging untuk mmbasmi nyamuk dewasa. “Cara berikutnya untuk intervensi vektor yaitu dengan nyamuk ber-Wolbachia,” tegas dr. Imran.

Diskusi bersama Forum Ngobras dan Kemenkes / Foto: Forum Ngobras

Fakta di Balik 7 Hoaks seputar Nyamuk Ber-Wolbachia

Jangan mudah termakan hoaks seputar nyamuk ber-Wolbachia yang banyak beredar di mdia sosial maupun grup WA. Berikut ini 7 berita bohong yang bisa ditangkis dengan fakta dan data ilmiah.

1. Rekayasa genetika

Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup dalam tubuh serangga. “Bakteri ini berhasil dimasukkan ke tubuh nyamuk Ae. Aegypti. Tidak ada perubahan genetika pada tubuh nyamuk maupun bakteri Wolbachianya. Bakteri tersebut tidak akan mampu mengubah materi genetic nyamuk,” jelas dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D, Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM, yang juga menjadi salah satu peneliti yang terlibat dalam penelitian Wolbachia di Yogyakarta.

Ia melanjutkan, fakta bahwa nyamuk ber-Wolbachia bukanlah hasil rekayasa genetika juga bisa dilihat melalui brbagai website resmi dan ilmiah. “Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi, dan genetic-modified mosquito. Nyamuk ber-Wolbachia termasuk jenis yang pertama,” tutur dr. Doni, begitu ia disapa.

2. Senjata biologis

Hoaks seputar nyamuk br-Wolbachia yang juga banyak beredar yaitu nyamuk ber-Wolbachia adalah senjata biologis yang akan menyebarkan penyakit, bahkan virus LGBT. Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. “Bakteri Wolbachia hanya bisa hidup di dalam sel tubuh serangga, dan akan langsung mati ketika keluar dari tubuh serangga,” terang dr. Doni. Ini berarti, bakteri terseut akan angsung mati seandainya ia masuk ke lairan darah kita ketika nyamuk menggigit.

Hal ini telah diteliti oleh dr. Doni dan tim. Mereka melakukan pemeriksaan secara langsung dengan mengambil sampel darah penduduk di Sleman dan Bantul, yang menjadi pilot project Wolbachia sejak 2014 lalu. “Dari sekian banyak sampel darah yang kami ambil, tidak ada satu pun yang memiliki antibodi terhadap Wolbachia. Karena tidak bisa masuk ke tubuh manusia, maka tidak akan memengaruhi perilaku manusia,” tegasnya.

Sebagai informasi, tubuh kita akan mmbentuk antibodi terhadap mikroorganisme spesifik yang masuk ke tubuh, untuk melawannya. Tidak ditemukannya antibodi Wolbachia pada sampel darah, menunjukkan bahwa bakteri tersebut tidak masuk ke tubuh. Selain itu, LGBT semata adalah orientasi dan preferensi seksual, bukanlah penyakit, apalagi penyakit menular. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan nyamuk ber-Wolbachia.

3. Berbahaya

Sebelum penelitian skala besar dengan melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di Sleman dan Bantul dilakukan, terlebih dulu dilakukan penelitian mengenai keamanannya. “Ada 20 ahli independen dari berbagai bidang ilmu, untuk menilai kemungkinan dampak buruk bila teknologi Wolbachia dilakukan,” ucap dr. Doni.

Para ahli yang terlibat antara lain: virolog, mikrobiolog, epidemiolog, ahli serangga, ahli biodiversitas, imunoloh, dokter spesialis anak, dokter spesialis penyakit dalam, psikolog, ahli kesehatan masyarakat, hingga ahli ekonomi. Selama 6 bulan penelitian ini, didapatkan daftar sejumlah kemungkinan. “Namun berdasarkan berbagai kajian, disimpulkan bahwa risiko tersebut adalah risiko yang biasa kita temui sehari-hari, dan bisa diabaikan,” ungkap dr. Doni.

4. Merusak lingkungan

Tersebar isu mengenai dampak ekologis, bahwa nyamuk ber-Wolbachia bisa merusak lingkungan dengan menularkan bakteri Wolbachia ke spesies nyamuk lain. “Kami meneliti dua spesies nyamuk yaitu Cullex dan A. albopictus di tempat pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. Tidak ditemukan bahwa Wolbachia dari nyamuk A. aegypti yang kami lepaskan, brpindah ke dua nyamuk tersebut,” jelas dr. Doni.

Isu lain menyebutkan bahwa nyamuk ber-Wolbachia akan meningkatkan populasi nyamuk Cullex shingga bisa menyebabkan peningkatan kasus radang otak. Lagi-lagi, hal ini tidak terbukti. Berdasarkan pemantauan nyamuk di Yogyakarta sepanjang 2015 – 2020, tampak bagaimana populasi nyamuk Cullex dan A. aegypti sebelum, selama, dan pasca periode pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. “Terlihat bahwa kedua spesies nyamuk tadi memiliki pola tersendiri. Selama periode pelepasan, tidak ada peningkatan populasi A. Aegypti, lalu menurun setelah pelepasan. Sedangkan populasi nyamuk Cullex tidak terpengaruh oleh populasi A. aegypti,” papar dr. Doni.

5. Tidak efektif

Penelitian di Yogyakarta menmukan bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia mampu menurunkan 77% insiden DBD dan menurunkan raat inap akibat DBD hingga 86%. Selain itu, sejak 2021, rrata angka DBD jauh lebih rendah dibandingkan 30 tahun sebelumnya. “Ini belum pernah terjadi sebelumnya, dan ini terjadi setelah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. Teknologi ini juga menurunkan kebutuhan fogging hingga 83%,” tegas dr. Doni.

6. Proyek Wolbachia di Sri Lanka gagal

Hoaks lain menyebut bahwa proyek nyamuk ber-Wolbachia di Sri Lanka gagal. Negara tersebut justru mengalami peningkatan kasus DBD hingga 300% selama periode pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. “Yang tidak ditunjukan oleh penyebar hoaks adalah, bagaimana pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Sri Lanka,” tukas dr. Doni.

Di Sri Lanka, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilakukan pada 2018 hingga Juni 2021. Saat itu pelepasan dilakukan di satu tempat dengan luas area 20 km2, dan menjangkau 230.000 populasi. Berdasarkan luas wilayah pelepasan, nyamuk ber-Wolbachia jadi kurang efektif.

Dijelaskan oleh dr. Doni, A. aegypti adalah nyamuk yang malas; jangkauan radius terbangnya rendah. Agar hasilnya efektif, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia memerlukan perhitungan luas wilayah dan bagaimana kepadatan populasinya. “Makin padat populasi manusia, makin tinggi pula populasi A. aegypti. Karena itu, teknologi ini efektif bila digunakan di wilayah padat penduduk,” tegasnya.

Proyek Wolbachia di Sri Lanka sendiri sebenarnya masih berjalan. Justru rencananya akan makin diperluas hingga ke provinsi di daerah selatan, dan wilayah lain yang kasus DBD-nya tinggi.

7. Singapura menghentikan proyek Wolbachia

Isu ini juga tidak benar. Melalui informasi di website ini, bisa kita lihat bahwa proyek Wolbachia masih dijalankan di Singapura. Hanya saja, memang skemanya sedikit berbeda dengan yang dilakukan di Indonesia.

Berdasarkan penelitian di Negeri Singa, ditemukan bahwa Wolbachia hanya menghambat sebagian transmisi virus dengue di nyamuk A. agypti lokal di sana. “Untuk itu, mereka hanya melepaskan nyamuk ber-Wolbachia jantan, untuk menurunkan populasi nyamuk,” pungkas dr. Doni. Yuk, lebih teliti dalam menerima informasi. Cari ahu dulu kebenarannya, agar tidak terjebak dalam hoaks seputar nyamuk ber-Wolbachia. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Image by zinkevych on Freepik