Penanganan penyakit tuberkulosis (TBC / TB) menyasar tidak hanya penderita tetapi juga kontak erat, terutama keluarga yang tinggal satu rumah dengan penderita.
Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus dan kematian tertinggi kedua - setelah India – di dunia akibat TBC, yakni sekitar 1 juta kasus dan 125 ribu kematian, berdasarkan Global Tuberculosis Report 2024.
Dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA, selaku Ketua Tim Kerja TBC Kemenkes RI, menjelaskan, ada banyak tantangan dalam eliminasi TBC di Masyarakat, seperti stigma dan akses layanan yang belum merata.
“Belum semua yang ditemukan mau diobati, penyebabnya masih mau cari second, third opinion, apa lagi kata medsos bisa dengan obat tertentu, tidak perlu minum obat TB. Ada lagi yang takut, malu, masih ada masalah stigma. Ada masalah akses. Jadi banyak masalah, tidak hanya medis tapi juga di luar medis,” ujar dr. Tiara, dalam Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia, di Jakarta (28/4/2025).
Pencegahan penularan dan pengobatan TBC menyasar, selain penderita juga mereka yang kontak erat, termasuk keluarga yang tinggal satu atap. “Mereka adalah target pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT). Mereka adalah orang sehat yang harus diberikan obat,” dr. Tiara menambahkan.
“Tidak sakit kok disuruh minum obat,” seperti itu biasanya keluhan yang diungkapkan oleh anggota keluarga yang harus menjalani TPT.
Pada kesempatan yang sama, dr. Betty Nababan, National Program Director PR Konsorsium Penabulu - Stop TB Partnership Indonesia (STPI), menerangkan perlunya melakukan investigasi kontak, yakni mencari orang-orang yang kontak dengan penderita TBC.
“Mereka adalah orang-orang yang sangat tinggi berisiko tuberkulosis,” katanya. “Edukasi yang selalu kita sampaikan pada kasus TBC adalah pengobatan yang pasien TBC jalani, mau sebagus apapun obatnya, ia tidak akan efektif kalau sekitarnya tidak diskrining TBC.”
“Orang-orang yang kontak, yang ada disekitar pasien TBC perlu mendapatkan pengobatan pencegahan TBC. Jangan tunggu sampai jadi kasus TBC. Jika ternyata kontaknya itu terlihat sakit TBC, kita rujuk ke layanan (puskesmas/rumah sakit) untuk dinilai apakah ia memenuhi kriteria mendapatkan pengobatan pencegahan TBC,” terangnya.
TPT bertujuan untuk mencegah perkembangan infeksi laten TB menjadi TBC aktif. TPT umumnya diberikan pada orang yang terpapar TBC tetapi belum menunjukkan gejala penyakit aktif, seperti kontak erat dengan pasien TB atau mereka yang memiliki hasil tes kulit TB positif.
Pilihan terapi pencegahan tuberculosis (TPT)
Berikut adalah pilihan TPT yang mungkin diresepkan dokter:
- Isoniazid (INH): obat ini merupakan pilihan utama dalam TPT. Pengobatan dengan INH selama 6 bulan merupakan salah satu paduan yang direkomendasikan untuk mencegah TBC aktif.
- Regimen 3HP: terdiri dari INH dan Rifapentine, dikonsumsi satu kali seminggu selama 3 bulan.
- Regimen 3HR: terdiri dari INH dan Rifampisin, dikonsumsi setiap hari selama 3 bulan.
- Regimen 6H: INH dikonsumsi setiap hari selama 6 bulan.
- Regimen 6Lfx+E: terdiri dari Levofloxacin dan Ethambutol, dikonsumsi setiap hari selama 6 bulan.
Siapa yang membutuhkan TPT?
- Kontak erat dengan pasien TBC aktif: anak-anak dan dewasa yang tinggal bersama orang yang terinfeksi TB.
- Mereka yang memiliki hasil tes kulit TB positif: Ini menunjukkan bahwa mereka telah terpapar bakteri TB, tetapi belum mengembangkan penyakit aktif.
- Orang yang memiliki risiko tinggi terkena TBC: Misalnya, orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, atau mereka yang telah terpapar TB di masa lalu. (jie)
Baca juga: Waspadai Gejala Tuberkulosis, Bisa Menyerang Otak, Tulang atau Ginjal