Demam berdarah dengue atau DBD masih mengancam dan menjadi salah satu penyakit yang paling dikhawatirkan oleh orang tua di Indonesia. Tak terkecuali Tasya Kamila, public figure yang juga ibu dari dua anak. “Saya punya dua anak kecil di rumah, dan jujur, dengue itu salah satu penyakit yang paling saya khawatirkan. Bukan hanya karena bahayanya, tapi juga karena kita nggak pernah tahu kapan atau dari mana virus itu datang,” ujarnya.
Pada beberapa kasus, dengue tidak menimbulkan gejala, atau gejalanya ringan sehingga kita tidak sadar bahwa sebenarnya sedang terinfeksi oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti. “Dalam kondisi seperti ini, kita bisa menjadi sumber penularan tidak langsung, karena nyamuk yang menggigit kita bisa menularkan virus ke orang lain, termasuk anak-anak kita sendiri,” ungkap Tasya.
Ia menyayangkan, masih banyak orang tua yang belum menyadari bahwa anak-anaklah yang paling berisiko mengalami dampak serius jika terinfeksi dengue. “Angka kematian akibat dengue tertinggi justru terjadi pada anak-anak dan remaja. Ini bukan cuma soal data kesehatan, tapi soal nyawa anak-anak kita. Sebagai orang tua, kita harus proaktif; tidak bisa hanya pasrah atau menunggu sampai anak sakit,” tandasnya dalam talk show Cegah DBD bertajuk “Science Heroes – Pahlawan Cilik Cegah DBD” dalam rangkaian acara Festival Hari Anak di Jakarta (27/7/2025), yang diselenggarakan oleh PT Takeda Innovative Medicines.
DBD Masih Mengancam Anak Indonesia
Anak-anak dan remaja adalah kelompok yang paling berisiko terhadap dampak terparah dari penyakit dengue. Berdasarkan data di seluruh dunia selama 30 tahun, tampak bahwa anak-anak memiliki insiden dengue yang lebih tinggi dan disability-adjusted life years (tahun-tahun kehidupan yang hilang akibat kematian atau akibat disabilitas yang disebabkan penyakit/DALYs) dari seluruh populasi. Indonesia sendiri merupakan negara dengan beban DALYs tertinggi akibat dengue pada 2021.
Hal ini sejalan dengan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). Dalam tiga tahun terakhir (2021-2024), kelompok yang paling rentan terhadap infeksi dengue adalah usia 15-44 tahun. Namun, kasus kematian akibat dengue dalam tujuh tahun terakhir paling banyak terjadi pada kelompok anak dan remaja usia 5-14 tahun.
Perlu diingat, DBD masih mengancam sepanjang tahun, tak hanya di musim hujan. “Dengue itu bukan penyakit musiman. Virusnya ada sepanjang tahun dan bisa menyerang siapa saja, di mana saja, tanpa memandang usia atau gaya hidupnya,” tegas dr. Atilla Dewanti, Sp.A(K), Dokter Spesialis Anak – Konsultan Neurologi.
Gejala dengue bisa mirip flu: demam tinggi mendadak, nyeri kepala, mual, muntah, nyeri otot dan sendi. Gejala klasiknya, tentu saja ruam merah di kulit. “Tapi yang berbahaya, kalau tidak dikenali dan ditangani sejak awal, dengue bisa berkembang menjadi dengue shock syndrome (DSS). Ini kondisi serius yang ditandai dengan perdarahan hebat dan penurunan tekanan darah yang drastis, bahkan bisa berujung fatal. Ini kasusnya juga banyak terjadi pada anak-anak,” papar dr. Atilla.
Gawatnya lagi, keempat serotipe dengue (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4), semuanya ada di Indonesia. Itu artinya, kita bisa terinfeksi dengue lebih dari satu kali dengan serotipe yang berbeda-beda. ”Saat seseorang sembuh dari satu jenis virus dengue, dia hanya kebal terhadap serotipe itu saja. Kalau nanti terinfeksi dengan serotipe lain, risikonya justru bisa lebih berat. Itu yang menyebabkan infeksi kedua atau ketiga bisa jauh lebih parah dari yang pertama,” jelas dr. Atilla.
Lindungi Anak dari Dengue
Hingga saat ini, belum ada obat khusus untuk mengobati dengue. Obat-obatan yang tersedia sebatas untuk meredakan gejala seperti demam, atau terapi suportif seperti pemberian infus bila terjadi kebocoran plasma. Untuk itu, upaya terbaik untuk melindungi anak-anak kita adalah dengan tindakan preventif (pencegahan).
Tindakan peventif dengan 3M Plus harus terus dilakukan secara konsisten, tanpa memandang musim dan kondisi ingkungan. Metode inovatif seperti vaksinasi, juga bisa dipertibangkan. “Saat ini, vaksinasi dengue telah direkomendasikan penggunaannya, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Untuk mendapatkan perlindungan yang optimal, dosis vaksinasi harus sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter,” tandas dr. Atilla.
Vaksinasi dengue dilakukan dalam dua dosis (dua kali penyuntikan), dengan jarak antara dosis pertama dengan dosis kedua yaitu 3 bulan. Bila kita terkena DBD setelah vaksinasi pertama, maka vaksinasi berikutnya dilakukan 3 bulan setelah sakit.
Jangan lengah, DBD masih mengancam. Orang tua berperan penting dalam upaya pencegahan dengue, seperti diungkapkan oleh Tasya. “Menjaga anak dari ancaman penyakit adalah tanggung jawab dan bagian dari tugas kita sebagai orang tua. Mulai dari menjaga lingkungan, membersihkan tempat penampungan air, memastikan anak cukup istirahat dan gizi, sampai mencari tahu upaya pencegahan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Kalau kita semua sadar dan bergerak bersama, saya percaya kita bisa menekan angka kasus dengue. Jangan sampai anak-anak kehilangan masa kecil mereka hanya karena kita lalai,” tuturnya. (nid)