Pertolongan Henti Jantung Mendadak - Ini Pentingnya Alat Kejut Jantung di Ruang Publik
henti_jantung_mendadak_AED

Pertolongan Henti Jantung Mendadak - Ini Pentingnya Alat Kejut Jantung di Ruang Publik

Peristiwa yang dialami oleh Christian Eriksen pada laga Euro 2020 lalu menjadi perbincangan. Pesepak bola asal Denmark tersebut mendadak kolaps, ketika Denmark tengah bertanding melawan Finlandia. Eriksen ternyata mengalami sudden cardiac arrest (SCA) atau henti jantung mendadak.

Bersyukur, Eriksen berhasil diselamatkan. Petugas medis yang sigap, segera melakukan CPR dan menggunakan automated external defibrillator (AED) atau alat kejut jantung sehingga jantungnya bisa kembali berfungsi memompa darah sebagaimana mestinya. Tak sampai setahun kemudian, ia sudah kembali ke lapangan.

Beda Henti Jantung Mendadak dengan Serangan Jantung

Kejadian henti jantung mendadak cukup sering kita dengar, terutama ketika seseorang tengah berolahraga. Sayangnya, sering kali nyawa tidak tertolong, karena tidak segera mendapat pertolongan. Masih lekat di ingatan kita tentang pebulu tangkis Markis Kido (alm), pelawak Basuki (alm), dan politikus Adjie Massaid (alm) yang tiba-tiba kolaps ketika/seusai berolahraga.

Dijelaskan oleh dr. Radityo Prakoso, Sp.JP(K), FIHA, FAsCC, SCA adalah kondisi yang terjadi ketika jantung tiba-tiba berhenti memompa. Apa bedanya dengan serangan jantung? “Serangan jantung adalah keadaan klinis berupa kumpulan gejala yang disebabkan karena terjadi sumbatan pada arteri koroner,” tutur Ketua PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) tersebut.

Salah satu komplikasi serangan jantung adalah SCA. Dengan kata lain, serangan jantung bisa menyebabkan SCA. Serangan jantung sendiri, disebabkan oleh penyakit jantung koroner (PJK). “Sebanyak 50% pasien PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak,” ujar dr. Radit, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Yayasan Jantung Indonesia, beberapa waktu lalu.

Memang sebagian besar SCA disebabkan oleh serangan jantung, tapi tidak semuanya. “Ada penyakit lain yang bisa menyebabkan SCA, misalnya gangguan listrik jantung, seperti yang dialami Eriksen,” imbuhnya. Kondisi lain yang juga bisa menimbulkan SCA yaitu penyakit jantung bawaan.

Alat Kejut Jantung yang Menyelamatkan

Sekitar 80% kematian mendadak terjadi di luar lingkungan rumah sakit (RS). “Waktunya hanya lima menit untuk menyelamatkan orang yang mengalami henti jantung mendadak pasca (mereka) kolaps,” ujar dr. Radit.

Pertolongan pertama untuk SCA disebut dengan bantuan hidup dasar (BHD). Prosedurnya meliputi: cek respons, meminta bantuan, cek napas dan denyut nadi, lalu melakukan CPR atau resusitasi jantung paru. “Namun sejak 2010, alat kejut jantung diintegrasikan ke dalam rangkaian CPR karena terbukti meningkatkan kelangsungan hidup hingga lebih dari 50%,” ujar dr. Radit.

Lebih lanjut ia menjelaskan, saat terjadi henti jantung, irama/listrik jantung berkecamuk tak keruan. Alat kejut jantung atau (AED) menghentikan menghentikan irama yang sedang berkecamuk itu. “Jadi alat ini meniadakan impuls-impuls di dalam jantung yang korsleting. Sehingga dengan bantuan resusitasi, timbul impuls baru yang lebih baik, sehingga irama jantung kembali normal,” paparnya. Alat inilah yang menyelamatkan Eriksen, di samping CPR.

Peluang seseorang yang mengalami SCA, sangat kecil untuk bisa bertahan bila tidak segera mendapat pertolongan. Dengan resusitasi dan pemberian gelombang kejut dengan AED dalam 3-5 menit pertama, kemungkinan bertahan hidup meningkat hingga 75%.

“Itu sebabnya, sangat penting agar AED tersedia di tempat-tempat dan fasilitas umum,” tegas Esti Nurjadin, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia. Misalnya saja pusat kebugaran, stadion, bandara, terminal bus, hingga pusat perbelanjaan.

Ia melanjutkan, AED harus diletakkan di tempat strategis yang mudah terlihat, dan mudah diakses oleh publik. Misalnya di dekat eskalator, lift, kotak P3K, atau alat pemadam api. “Percuma kalau AED disimpan di kantor manajemen karena publik tidak bisa mengakses, jadi tidak ada fungsinya. Atau diletakkan di tempat strategis, tapi dikunci, dan kuncinya disimpan oleh pihak pengelola gedung. Sama saja,” imbuh Esti.

AED juga harus tersedia dalam radius serapat mungkin dalam suatu tempat. Misalnya tersedia di tiap area eskalator/lift, jadi tidak hanya satu dalam satu mal. “Kalau di bandara misalnya tiap satu atau dua gate,” ujar Esti.

Alat juga harus diperiksa secara berkala, untuk memastikan bahwa alat berfungsi dengan baik. Baterai juga harus selalu terisi. “Supaya ketika diperlukan, alat bisa digunakan. Jangan sampai baterainya habis, atau sambungan ke listrik tidak ada,” dr. Radit menambahkan.

Tentu saja, kondisi di atas adalah kondisi yang ideal. Namun kenyataannya, masih jauh dari ideal. AED masih belum banyak tersedia di fasilitas umum. Di sebagian besar tempat wisata, hampir bisa dipastikan belum ada AED. Tak terkecuali tempat wisata yang cukup menantang, di mana SCA sangat mungkin terjadi. Misalnya di laut, untuk wisata snorkeling maupun diving. “Jangankan kapal di Labuan Bajo. Bahkan pesawat terbang milik maskapai ternama pun belum dilengkapi AED,” ucap dr. Radit.

Pelatihan BHD

Tentunya ketersediaan AED di ruang publik, harus pula disertai dengan kemampuan melakukan CPR, menggunakan AED, dan pengetahuan soal kapan menggunakan AED. Yayasan Jantung Indonesia (YJI) memiliki program pelatihan BHD yang bisa diikuti oleh orang awam. Kampanye untuk pelatihan tersebut sudah cukup lama dilakukan oleh YJI.

“Kami mengajak kantor-kantor swasta maupun pemerintah, tempat dan fasilitas umum, dan tempat-tempat di mana banyak orang berkumpul, agar pegawainya bisa melakukan BHD,” tutur Esti. Untuk fasilitas olahraga, yang diberikan pelatihan adalah instruktur olahraganya.

Training hanya satu hari, selama beberapa jam saja. Mereka yang pernah menjalani pelatihan, tiap 2 tahun sekali akan dilakukan refresh pengetahuan.

Tersedianya alat kejut jantung di ruang-ruang publik akan membuat perbedaan nyata antara hidup dan mati. “AED yang dipasang di fasilitas umum, ditambah edukasi kepada masyarakat tentang cara membantu pasien henti jantung mendadak, diharapkan bisa menurunkan angka kematian akibat henti jantung mendadak di Indonesia,” pungkas dr. Radityo. (nid)