Mencegah Resistensi Antimikroba di ICU, Tanyakan 4 Hal Ini ke Dokter
mencegah_resistensi_antimikroba

Mencegah Resistensi Antimikroba di ICU, Tanyakan 4 Hal Ini ke Dokter

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, resistensi antimikroba telah menyebabkan 1,27 juta kematian di seluruh dunia secara langsung, serta berhubungan dengan 4,95 juta kematian pada 2019. “Ini merupakan salah satu dari 10 ancaman kesehatan di seluruh dunia,” tegas dr. Vannesi T. Silalahi, Sp.An, M.Sc, KIC, dokter spesialis anestesi konsultan perawatan intensif di Eka Hospital, Tangerang.

Resistensi antimikroba atau AMR (antimicrobial resistance) adalah kondisi di mana bakteri, jamur atau virus penyebab infeksi lebih sulit ditangani dengan antimikroba (antibiotik, antijamur, atau antiviral) sehingga pasien sulit sembuh dan perlu dirawat lebih lama.

Pasien yang dirawat di ICU rentan mengalami AMR. “Mereka yang masuk ICU, sudah pasti kondisinya kritis dan imunitas menurun. Sementara itu, kuman di ICU itu yang paling mengerikan,” ujar dr. Vanessi. Tak jarang pasien mengalami masalah pada lebih dari satu organ tubuh akibat infeksi di ICU. Yang paling dikhawatirkan, tentu saja terjadi syok sepsis akibat infeksi, yang sangat mengancam nyawa.

Mencegah Resistensi Antimikroba di ICU

Sekira 7 dari 10 orang yang dirawat di ICU menerima antibiotik, sebagai salah satu terapi utama untuk menyembuhkan infeksi. Untuk itu, pemberian antibiotik yang rasional dan bijak sangalah krusial.

Untuk mencegah resistensi antimikroba atau AMR, diperlukan pemberian antibiotik yang tepat waktu, tepat pasien, dan tepat guna. “Target kita, pasien keluar dari ICU dalam 3 -  4 hari. Makin lama di ICU, risiko terhadap AMR meningkat. Angka mortalitas dan morbiditas pun meningkat,” tutur dr. Vanessi, dalam diskusi media yang diselenggarakan oleh Pfizer dan Eka Hospital, Rabu (6/9/2023).

Idealnya, pemberian antibiotik disesuaikan dengan jenis bakteri yang spesifik. Ini bisa dilakukan dengan pemeriksaan kultur bakteri. Namun, pemeriksaan ini memerlukan waktu. “Antibiotik empiric bisa diberikan di awal, sesuai kondisi pasien mengarah ke mana. Dokter bisa melihat kuman berasal dari mana. Apakah di paru, kulit, saluran cerna,” ucap dr. Vanessi.

Pemberian antibiotik empiric bukannya tidak mungkin menyebabkan AMR. Namun tidak akan terjadi AMR bila antibiotik diberikan tepat waktu, tepat guna dan tepat pasien. “Antibiotik empiric adalah salah satu kunci utama pasien untuk bisa selamat. Jadi tidak perlu takut dengan antibiotik empiric karena itu sudah berdasarkan penelitian di dunia,” tegasnya.

Ia mengingatkan, tiap RS memiliki pola kumannya sendiri. “Kuman di RS di Tangerang Selatan berbeda dengan yang di Bogor. Karena itu RS perlu meneliti bagaimana pola kuman di tempatnya. Kita harus jitu untuk memutus lingkaran setan. Antibiotik empirik itu juga berdasarkan pola kuman di tiap RS,” tandas dr. Vanessi.  

Hal yang Perlu Ditanyakan ke Dokter ICU

Dr. vanessi menekankan pentingnya membangun komunikasi dua arah antara keluarga pasien dengan dokter. “Keluarga harus paham mengenai kondisi pasien, hingga risiko sepsis. Keputusan ada pada keluarga. Kalau mereka tidak paham, bagaimana bisa mengambil keputusan yang tepat?” ujarnya.

Hal ini diamini oleh seorang patient advocate, Butet Trivyantini. “Keluarga pasien harus proaktif berkomunikasi secara produktif dengan dokter. Itu hak kita sebagai pasien,” tegasnya. Perlu ada kesepahaman mengenai treatment yang diberikan. Setelah mendapat informasi dari dokter, lakukanlah riset sendiri di internet, agar lebih paham lagi. “Jangan takut, lelah, atau malas bertanya. Jangan hanya pasrah menerima informasi. Aktiflah bertanya sedetil mungkin,” tambah Butet.

Sebelum bertemu dokter, ada baiknya mencatat dulu pertanyaan yang ingin diajukan, agar tidak lupa, dan kita bisa mendapat jawaban yang memuaskan. Berikut ini 4 contoh pertanyaan yang bisa membangun komunikasi dengan dokter dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya.

1. Bagaimana pemberian antibiotik saat ini?

Tanyakanlah mengenai jenis, dosis, lama penggunaan, rute (cara pemberian), serta efek samping antibiotik yang diberikan kepada pasien.

2. Bagaimana dengan hasil uji kultur?

Tanyakan apakah akan dilakukan uji kultur, waktu keluarnya hasil uji kultur, alternatif perawatan yang bisa dilakukan setelah hasil uji kultur keluar, serta risiko pemberian antibiotik empirik apabila ternyata infeksi pasien bukan disebabkan oleh bakteri. 


3. Bagaimana perkembangan kondisi pasien?

Tanyakan, seberapa sering tenaga kesehatan akan memberikan informasi terbaru mengenai kondisi pasien, siapa saja yang dapat ditanyai mengenai perkembangan kondisi kesehatan pasien, tindakan lain atau perubahan pemberian antibiotik apa yang akan diterapkan jika kondisi pasien tidak kunjung membaik, dan sebagainya.

4. Bagaimana risiko AMR ditangani?

Pertanyaan yang bisa diajukan misalnya: seberapa tinggi risiko terjadinya resistansi antimikroba di ICU, indikator terjadinya resistansi antimikroba terhadap pasien, risiko transmisi bakteri, jamur atau virus yang sudah kebal ke anggota keluarga lain, serta upaya-upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan risiko terjadinya resistansi antimikroba.

Mencegah resistensi antimikroba perlu kolaborasi semua pihak. “Tidak cukup hanya nakes saja, tapi juga keluarga pasien karena mereka adalah bagian dari tim,” pungkas dr. Vanessi. (nid)

_____________________________________________

Ilustrasi: Image by Freepik