Pengobatan Hepatitis C pada Pasien Ginjal Kronik | OTC Digest

Pengobatan Hepatitis C pada Pasien Ginjal Kronik

Angka penularan hepatitis C pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani terapi hemodialisis (HD) atau cuci darah, sangat tinggi di Indonesia. “Hingga saat ini belum jelas di mana penularan terjadi. Di negara maju seperti di Jepang, hanya sekitar 1-5% saja kasus penularan hepatitis C melalui proses hemodialisis. Tetapi di Indonesia mencapai 30-60%,” tutur Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH, Ketua Komite Ahli Heptitis di Kementerian Kesehatan RI, dalam press release yang diterima OTC Digest.

Umumnya, dibandingkan pasien PGK biasa, pasien PGK yang tertular hepatitis C memiliki keparahan penyakit dan kualitas hidup yang lebih buruk, serta angka harapan hidup yang lebih rendah. “Kelompok pasien ini harus lebih diperhatikan, terutama terkait terapinya,” tegas Dr. dr. Rino, yang juga Kepala Divisi Hepatobilier di RSCM/FKUI Jakarta. (Baca juga: Hubungan Hepatitis C dengan Gangguan Ginjal)

Pengobatan hepatitis C sudah berkembang demikian pesat, dengan ditemukannya obat-obatan DAA (Direct-Acting Antiviral) generasi baru seperti sofosbuvir. Dengan obat ini, angka kesembuhan mencapai 90 – 98%. Efek sampingnya pun rendah, dan pengobatannya nyaman bagi pasien karena cukup diminum, tanpa suntikan. (Baca juga: Terobosan Baru Obat Hepatitis C, Angka Keberhasilan 95%)

DAA yang sudah mendapat registrasi dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) antara lain sofosbuvir dan simeprevir. Beberapa obat lain masih dalam proses registrasi. Sayangnya, menurut Dr. dr. Rino, “Obat-obatan ini  tidak bisa diberikan pada penderita hepatitis C yang disertai PGK, karena semuanya disekresi di ginjal sehingga memperburuk kondisi ginjal mereka yang memang sudah bermasalah. Padahal terapi hepatitis C pada pasien PGK sangat direkomendasikan agar mereka dapat menjalani transplantasi ginjal,” paparnya.

Ia melanjutkan, sudah ada obat DAA yang aman untuk pasien PGK, yakni grazoprevir + elbasvir. Obat ini disekresi di hati sehingga aman untuk ginjal, dan memiliki efektivitas setara dengan DAA lainnya. Namun ijin edarnya masih dalam proses registrasi di BPOM. “Sebelum akhir tahun ini, semoga grazoprevir+ elbasvir mendapat ijin edar sehingga dapat diakses pasien yang memerlukan,” harapnya.

Kita menargetkan eliminasi semua jenis infeksi hepatitis pada 2030. Dengan tersedianya obat untuk penderita hepatitis C yang juga menderita PGK, maka makin banyak kelompok pasien yang bisa mendapat terapi optimal sesuai kebutuhannya. “Untuk eliminasi sampai 0% memang tidak mungkin. Namun tujuannya adalah menurunkan jumlah penderita sebanyak mungkin, untuk menekan beban biaya kesehatan,” ungkap Dr. dr. Rino.

Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Kemenkes melalui Kasubdit Hepatitis seperti program skrining hepatitis C dan vaksinasi hepatitis B pada bayi baru lahir, sudah benar. “Tugas kita bersama untuk mendukung program eliminasi hepatitis. Termasuk masyarakat sipil, media massa, tenaga kesehatan, dan instansi terkait,” tandasnya. (nid)

 

Baca juga: Mengenal Hepatitis C, Salah Satu Penyebab Kanker Hati