Nyeri kadang dianggap sebagai masalah sepele. Padahal, nyeri bisa sangat mengganggu kualitas hidup, bahkan bisa membuat penderitanya ketergantungan terhadap obat-obat Pereda nyeri. Prevalensi nyeri pada dewasa mencapai 30%.
Nyeri adalah pengalaman sensosik dan emosional yang tidak menyenangkan. “Nyeri itu sangat subjektif. Ambang nyeri seseorang berbeda dengan orang lain,” ungkap Drs. Budi Raharjo, Apt.SpFRS dalam webinar yang diselenggarakan oleh PT Kalbe Farma, Rabu (10/9/2025).
Berdasarkan penyebabnya, nyeri bisa diklasifikasikan menjadi dua: nosiseptif dan neuropatik. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh kerusakan/cedera pada jaringan tubuh misalnya trauma, nyeri lambung, atau patah tulang. “Nyeri terjadi ketika resptor nyeri terstimulasi, sehingga dia meneruskan rangsang nyeri ke otak,” jelas Budi. Nyeri nosiseptif adalah alarm yang mempringatkan tubuh terhadap bahaya/kerusakan.
Adapun nyeri neuropatik disebabkan oleh kerusakan saraf. Nyeri jenis ini tidak berperan sebagai fungsi protektif maupun fungsi adaptif. Misalnya nyeri akibat herpes zoster dan saraf kejepit.
Mengatasi Nyeri dari Sudut Pandang Tenaga Medis
Sebelum meresepkan obat pereda nyeri, apoteker perlu menilai dulu derajat nyeri dengan Visual Analog Scale (VAS). “Kita minta pasien untuk menilai derajat nyerinya, dan kita lihat ekspresi wajahnya,” ujar Budi. Tugas apoteker yaitu menilai skala nyeri pasien berdasarkan ekspresi wajah pasien.
Selanjutya, apoteker perlu menanyakan pertanyaa lanjutan. Seperti: sejak kapan atau sudah berapa lama nyeri dirasakan? Apakah ada kondisi tertentu yang menyebabkan nyeri? Seperti apa nyerinya? Kapan nyeri jadi makin parah? Dan lain sebagainya.
Obat pereda nyeri diberikan berdasarkan skala nyeri pasien, sesuai dengan ketentuan dari ‘WHO pain ladder’, yaitu derajat nyeri dari ringatn, moderat, hingga berat. “Kalau skala nyeri pasien 10, tidak mungkin kita berikan ibuprofen saja,” ucap dr. Riesta Hanjani.
Ia menjelaskan, jaras nyeri sendiri sangat panjang. “Ada berbagai target yang bisa menjadi tempat mekanisme kerja obat-obat analgesik. Kita bisa berikan obat yang bekerja di tempat berbeda,” tutur dr. Riesta. Tujuannya yaitu meningkatkan kinerja Pereda nyeri, tanpa menambah dosis obat sehingga efek samping obat bisa diturunkan.
Inflamasi dan Obat Pereda Nyeri
Ditegaskan oleh dr. Riesta, nyeri berhubungan erat dengan inflamasi. “Inflamasi itu penting untuk penyembuhan luka, jadi tidak bisa benar-benar dihentikan,” terangnya. Gejala inflamasi yaitu merah, panas, bengkak, nyeri, dan hilang/berkurangnya fungsi akibat nyeri dan kerusakan jaringan itu sendiri.
Di sisi lain, inflamasi juga mengakibatkan kerusakan jaringan. Kerusakan ini memicu berbagai proses, antara lain melalui COX-1 dan COX-2 yang mengeluarkan prostaglandin yang merangsang nyeri. “Karenanya, prostaglandin dan COX jadi target utama obat analgesik,” jelas dr. Riesta.
Ada banyak sekali analgesik/pereda nyeri di pasaran. Yang paling sering dipakai yaitu golongan OAINS (obat antiinflamasi non-steroid). OAINS bekerja di COX-1 dan COX-2 untuk menurunkan prostaglandin, dan mengurangi nyeri.
Pada tahun 2000-an ditemukan jenis enzim baru COX-3. “Obat-obatan yang bekerja pada COX-3 juga bisa digunakan sebagai penurun demam, misalnya metamizol,” ujar Budi. Success rate metamizole dalam menurunkan nyeri, ternyata lebih baik dibandingkan dengan beberapa analgetik lain seperti ibuprofen dan diclofenac.
Metamizole dulu digolongkan sebagai OAINS, namun sejak ditemukannya COX-3, kini ia diklasifikasikan sebagai analgesik nonopioid. Selain efektif meredakan nyeri dan demam, metamizol juga mampu meredakan nyeri spasmodik.
Obat ini memiliki mekanisme beragam. Utamanya bekerja di COX-3 dan menghambat prostaglandin. “Di otot, dia akan menghambat pengeluaran kalsium dari otot sehingga mengurangi nyeri spasmodik seperti kram,” ujar dr. Riesta. Metamizole juga mengaktivasi persinyalan nitric oxide sehingga saraf tidak mudah terangsang oleh nyeri, serta meningkatkan senyawa arachnoid yang meningkatkan reseptor kanabinoid yang menghasilkan efek analgesia.
Kombinasi Analgesik dan Ajuvan
Telah disebutkan sebelumnya, efek analgesic bisa ditingkatkan dngan mengombinasikan pereda nyeri yang bekerja di tempat berbeda. Dalam hal ini, bisa diberikan ajuvan analgesik. Salah satunya yaitu kafein, yang merupakan stimulant sistem saraf.
Kafein sendiri termasuk fitoterapeutik, yang ketika dikombinasikan dengan obat-obatan konvensional, memiliki efek sinergistik. “Menambahkan kafein pada obat analgesik konvensional akan menambahkan efek analgesia yang lebih besar lagi,” tegas dr. Riesta. Kafein bekerja dengan beberapa mekanisme. Antara lain memblok reseptor adenosine sehingga menghasilkan efek antinyeri.
Berbagai studi menemukan, kombinasi analgesik konvensional dan kafein lebih baik dalam menurunkan nyeri daripada analgesik tunggal. “Studi praklinis menggunakan mencit menemukan, kombinasi metamizole dan kafein memiliki efek nosiseptif yang secara signifikan jauh lebih besar dibandingkan metamizole atau kafein tunggal,” tutur dr. Riesta.
Penambahan vitamin B kompleks pada analgesik juga memberikan efek yang baik. Secara umum, vitamin B1memberikan energi pada sel saraf, vitamin B6 menyintesis neurotransmitter dan myelin, dan vitamin B12 penting untuk myelin, serta regenerasi dan integritas sel saraf. “Penambahan vitamin B kompleks pada analgesik sudah terbukti sebagai ajuvan dalam terapi migren. Menurut penelitian, mampu menghasilkan penurunan nyeri yang lebih besar dibandingkan analgesik tunggal, sehingga skor migren turun,” papar dr. Riesta.
Neuralgin RX mengandung analgesik dan ajuvan (vitamin B kompleks dan kafein). Efektif meredakan sakit kepala, sakit gigi, nyeri haid, neuralgia, hingga nyeri pasca operasi. Dosisnya yaitu 1 tablet, 3 kali sehari, dengan maksimal 4 tablet dalam satu hari. Perlu diperhatikan, obat ini kontraindikasi untuk ibu hamil dan menyusui. (nid)
____________________________________________
Ilustrasi: Image by freepik