Sebuah meta-analisis yang melibatkan lebih dari 1,5 juta orang mendapati efek kopi dan minuman energi bertolakbelakang pada efek risiko bunuh diri.
Konsumsi kopi dalam jumlah banyak – pada studi ini lebih dari 60 cangkir per bulan; berarti 2 cangkir kopi per hari atau lebih – signifikan berhubungan dengan penurunan risiko bunuh diri. Kemungkinan disebabkan efek stimulasi dan peningkat mood-nya.
Sebaliknya, riset yang diterbitkan di jurnal Nutrients (2025) ini menjelaskan bahkan satu kaleng minuman energi per bulan dapat meningkatkan munculnya pikiran dan upaya bunuh diri, dengan efek yang bisa berlipat ganda pada tingkat konsumsi lebih tinggi.
Perbedaan efek ini mungkin disebabkan oleh bahan psikoaktif lain dalam minuman energi, seperti taurine, guarana dan ginseng, serta kandungan gulanya yang tinggi. Ini bisa memicu kecemasan dan perubahan mood, terumata mada individu muda.
“Hasil studi ini cukup mengejutkan. Percobaan bunuh diri 30% lebih rendah pada peminum kopi, dibanding kosumen minuman energi,” ujar Guillaume Devido, MD, psikiater spesialis studi kecanduan di Bichat-Claude Bernad Hospital, Paris, yang tidak terlibat dalam penelitian.
Meta-analisis ini juga menarik, karena mendorong untuk lebih memahami efek kafein, dan membedakan minuman energi berkafein dengan kopi, yang sama-sama memiliki efek stimulan.
Kopi memberikan efek mengejutkan
Gagasan bila kafein dapat meningkatkan risiko bunuh diri cukup mengejutkan bagi banyak ahli. Terutama banyak publikasi yang membahas efek kafein dalam psikiatri, terutama terhadap kualitas tidur.
“Semakin sedikit kita tidur, semakin stres dan impulsif kita, dan semakin besar kemungkinan risiko depresi,” kata Devido. Depresi adalah satu langkah yang mendekatkan dengan pikiran bunuh diri. Gangguan kejiwaan akan lebih tidak stabil pada pasien yang mengonsumsi kafein.
“Kami menduga bahwa aspek kafein dari minuman energilah yang berpotensi meningkatkan jenis gangguan ini. Namun studi ini justru menyimpulkan adanya efek protektif dari kafein,” imbuhnya, melansir Medscape.
Ia juga mengingatkan perlu kehati-hatian dalam memahami hasil studi tersebut. Publikasi tersebut secara spesifik menyebutkan taurine, guarana atau ginseng, yang dapat memicu kecemasan. Namun, literatur terkini masih sangat berhati-hati tentang toksisitas sebenarnya dari zat-zat tersebut.
Penting diingat, bahwa konsumsi minuman energi terkadang terjadi dalam gaya hidup berisiko secara keseluruhan, yang kemungkinan besar menjelaskan hubungan yang diamati.
Mikrobioma usus
Kopi diketahui memiliki efek perlindungan – berperan sebagai antioksidan – yang menguntungkan bagi mikrobioma usus. Kafein bisa berdampak positif pada mood. Sebaliknya, zat lain dalam minuman energi, khususnya gula, bisa berpengaruh negatif pada mikrobioma usus.
Penelitian di International Journal of Health Sciences menyebutkan konsumsi minuman energi secara teratur mengurangi ekspresi gen bakteri yang bermanfaat bagi mood, dan mengurangi keragaman mikroba di usus.
“Kekurangan” studi ini
Devido menganggap – walau studi ini menarik – tetapi ia memiliki batasan. Jumlah konsumsi kopi didefinisikan dengan baik, sekitar 60 cangkir per bulan. Sementara untuk minuman energi, jumlahnya kurang jelas, digambarkan sebagai satu kaleng.
“Secangkir kopi sekitar 200 ml, dan satu kaleng minuman energi setara dengan sekitar 2 cangkir kopi. Kita tahu bahwa minuman ini lebih banyak kafein daripada kopi, atau minuman cola biasa lainnya, dengan kandungan sekitar 75 – 300 mg per minuman,” urainya.
“Apalagi, penggemar minuman energi mengonsumsinya dalam jumlah besar, seringkali tidak menyadari berapa banyak kafein yang mereka konsumsi.”
“Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang hasil meta-analisis: Apakah peminum kopi terlindungi oleh kafein, atau apakah mereka hanya mengonsumsi lebih sedikit daripada pengguna minuman berenergi?”
“Publikasi yang menyoroti risiko kejiwaan terkait kopi menunjukkan bahwa konsumsi kopi dalam jumlah sedang umumnya aman. Bahkan mungkin terdapat efek neuroprotektif. Jadi, mengonsumsi dua cangkir kopi sehari tampaknya tidak bermasalah,” jelasnya.
Selain itu, sudah menjadi pengetahuan umum bila penikmat minuman energi sebagian besar berusia muda. Risiko bunuh diri lebih tinggi pada kelompok usia ini. Dan, konsumen minuman energi terkadang juga mengonsumsi zat lain.
“Terdapat hubungan kuat dalam literatur antara minuman energi dan zat adiktif. Pasien dengan masalah adiksi juga punya risiko bunuh diri yang lebih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan eksplorasi lebih lanjut terkait populasi ini,” pungkas Devido. (jie)