Batuk alergi bisa sangat mengganggu, memburuk terutama di pagi dan malam hari. Pemilihan obat batuk yang tepat, antara ekspektoran dan antihistamin diperlukan.
Batuk tidak semata-mata sebagai gejala penyakit, ia memiliki fungsi sebagai refleks perlindungan. Batuk berperan sebagai mekanisme alami untuk membersihkan dan melindungi saluran pernapasan dari mukus (lendir/dahak) yang berlebihan, benda asing (debu, asap, serbuk sari) ataupun iritan (baik mekanis, kimiawi, maupun suhu).
Apt. Yuri Pratiwi Utami, SFarm, MSi, CHerbs, staf pengajar di Fakultas Kedokteran, Universitas Mega Buana, Makassar, menjelaskan batuk kronis (lebih dari 8 minggu) bisa sangat berdampak pada kualitas hidup, berupa gangguan tidur, kelelahan kronis dan gangguan sosial dan psikologis.
Tak hanya itu, batuk yang sangat kuat (tekanan yang tinggi di dada) kerap menimbulkan cedera fisik langsung, seperti nyeri otot dan dada, mual muntah, hingga perdarahan subkonjungtivita dan hernia.
Khusus batuk alergi, dipicu oleh paparan alergen spesifik, seperti serbuk sari, debu, bulu hewan, atau jamur pada individu yang sensitif. “Kharakteristik umumnya adalah batuk kering, terasa gatal di tenggorokan, bukan batuk yang dalam dan menyakitkan seperti pada pneumonia. Cenderung bersifat kronis atau berulang (bermusim),” terangnya kepada OTC Digest.
Batuk alergi termasuk sebagai batuk non-infeksi. Hampir selau disertai dengan rinitis alergi, ditandai dengan munculnya cairan hidung bening & encer, bersin berulang, terutama ketika terpapar alergen. Rinitis alergi memicu batuk berdahak.
“Terjadi gatal di hidung, mata, tenggorokan, atau telinga. Juga ada postnasal drip (PND), terasa ada lendir yang mengalir dari hidung ke belakang tenggorokan, yang merupakan penyebab utama batuk alergi,” Yuri menambahkan.
Batuk alergi kerap kali memburuk di pagi hari, antara lain karena terjadi penumpukan alergen di kamar, atau malam hari karena posisi tidur yang memperburuk postnasal drip.
Batuk alergi bisa berasal dari saluran napas atas, berupa batuk kering atau berdahak akibat PND, sering memburuk di pagi atau malam hari. Sementara batuk alergi dari saluran napas bawah terjadi akibat manifestasi asma.
Pengobatan batuk alergi menerapkan pendekatan bertahap. Tujuannya untuk mengontrol inflamasi (radang) akibat alergi dan menghilangkan paparan pemicu (alergen). Mengidentifikasi dan mengurangi paparan alergen spesifik adalah langkah pertama, sekaligus terpenting.
Ekspektoran atau antihistamin?
Pengobatan dimaksudkan untuk meredakan gejala (batuk, bersin dan lendir) dengan menargetkan reaksi alergi dan postnasal drip.
“Kapan perlu ekspektoran (untuk mengencerkan dan mengeluarkan dahak) dan antihistamin (untuk menghambat efek histamin, zat kimia yang dilepaskan saat reaksi alergi)?” kata Yuri. “Ternyata kombinasi keduanya menjadi perawatan optimal untuk batuk alergi.”
Kombinasi ini dibutuhkan karena batuk alergi tidak hanya disebabkan oleh iritasi, tetapi juga oleh masalah pengeluaran lendir.
Alergi dan inflamasi saluran napas bawah membutuhkan antihistamin untuk membantu mengurangi komponen inflamasi dan renspons alergi. Inflamasi kerap kali menghasilkan sekresi dahak yang sangat kental dan menempel di dinding saluran napas. Membutuhkan ekspektoran.
“Pandangan kita selama ini batuk alergi karena non produktif (tidak mengeluarkan lendir/batuk kering) pakai antitusif. Tapi ternyata kombinasi ini dibutuhkan ketika batuk alergi tidak hanya ada iritasi, tetapi karena ada pengeluaran lendir akibat PND,” Yuri menerangkan.
Salah satu jenis antihistamin yang kerap digunakan pada batuk alergi adalah diphenhydramine HCl, di mana penyerapannya terjadi maksimum pada 1 jam. Sementara salah satu ekspektoran yang banyak direkomendasikan adalah amonium klorida.
Perlu diperhatikan kombinasi obat batuk alergi ini memicu kantuk. “Disebabkan kandungan antihistaminnya yang bersifat menenangkan. Sehingga tidak disarankan untuk mengemudi atau menjalankan mesin setelah meminumnya. Lebih disarankan meminumnya di malam hari,” terang Sonya Agustine, SKM, Marketing Operation Manager PT Harsen Laboratories.
“Batuk yang terus menerus mengganggu tidur. Dengan kandungan diphendydramine membantu pasien lebih tenang, batuk berkurang.” Imbuhnya.
Sebagai catatan, walau kombinasi obat ini aman untuk ibu hamil, menyusui atau lansia, tetap perlu kehati-hatian, dengan penyesuaian dosis.
“Khusus untuk ibu hamil atau menyusui, kalau memang batuknya tidak terlalu parah bisa dikonsumsi 1 sendok per hari (dari anjuran dosis dewasa: 1 atau 2 sendok tiap 2 atau 3 jam, tidak lebih dari 14 sendok dalam sehari). Perhatikan juga ibu hamil ini memiliki penyakit bawaan atau tidak. Kalau tidak, maka relatif aman,” tegas Sonya.
Kopi dan obat batuk
Sebagian orang berusaha mengatasi efek kantuk akibat obat batuk dengan kopi. Mungkin ini membantunya tetap terjaga.
“Kafein adalah stimulan untuk saraf pusat. Kalau kita minum antihistamin (diphenhydramine HCL) bersamaan dengan kopi yang terjadi adalah reaksi antagonisme parsial,” terang Yuri. “
“Pasien mungkin merasa tidak mengantuk, tetapi fungsi konsentrasi dan koordinasinya tetap terganggu. Ini berbahya. Pasien mungkin berpikir mereka aman untuk mengemudi padahal refleksnya melambat. Kafein juga bisa meningkatkan risiko jantung berdebar atau gugup.”
“Perhatikan juga pada batuk alergi, kefein juga bisa bertindak sebagai iritan atau memicu naiknya asam lambung, yang dapat memperburuk batuk,” urai Yuri.
Jika Anda tetap ingin minum kopi, disarankan berikan jeda 30 – 60 menit setelah minum obat batuk. (jie)





