Andai gas air mata tidak digunakan, tragedi Kanjuruhan mungkin tidak akan menelan korban jiwa sampai 132.
“Gas air mata menjadi penyebab utama banyak korban meninggal,” ujar Choirul Anam dari Komnas HAM yang melakukan investigasi ke stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Anam menyampaikan itu setelah bertemu Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa 11 Oktober lalu.
Tragedi terjadi setelah wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan Persebaya (Surabaya) vs Arema (Malang) usai dengan skor 3-2 untuk kemenangan Persebaya. Supporter Arema malam itu seperti naik roller coster. Babak pertama Arema kalah 0-2. Babak kedua Arema menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Menjelang akhir pertandingan, Persebaya mengubah kedudukan menjadi 3-2. Bisa dibayangkan, bertapa kecewanya para supporter, karena selama 23 tahun Arema selalu unggul atas Persebaya.
Menurut Anam, gas air mata yang ditembakkan ke tribun membuat penonton panik. Mereka berlarian menuju pintu keluar yang sempit dan terkunci. Selain mata perih dan sakit dada akibat menghirup gas air mata, mereka haus lapar dan kelelahan karena sudah pukul 22.00. Banyak korban yang pingsan dan terinjak-injak. Pada Sabtu malam, 1 Oktober 2022, pun terjadi tragedi yang tak terbayangkan.
Efek gas air mata
Gas air mata sering digunakan untuk membubarkan massa. Bila digunakan di tengah kerumunan massa, apalagi dalam ruangan tertutup, gas air mata bisa mematikan. Menurut dr. M. Sidi, SpM, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), gas air mata bisa menyebabkan iritasi. Terjadi pembengkakan mata, penglihatan terganggu, sesak napas membuat korban panik.
“Umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen,” ujarnya dalam webinar memperingati Hari Penglihatan Sedunia 2022, Selasa 4 Oktober 2022.
Sejumlah literatur menyebutkan, terpapar gas air mata bisa menyebabkan batuk-batuk, mual muntah, mata berair gatal dan panas seperti terbakar, tidak bisa melihat untuk sementara.
Terkena gas air mata dari jarak dekat bisa menyebabkan perdarahan mata, kerusakan mata, erosi kornea dan kebutaan.
Efek lain: gangguan pernapasan, iritasi hidung, tenggorokan dan paru-paru. Korban dengan gangguan pernapasan berisiko gagal napas, dan penderita penyakit jantung berisiko mengalami serangan jantung.
Paparan gas air mata dengan konsentrasi tinggi atau di ruang tertutup, bisa menyebabkan kematian.Berpotensi menyebabkan iritasi kulit, gatal-gatal, kemerahan dan melepuh. Korban juga mungkin mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD).
FIFA sudah melarang
Ada sejumlah kejanggalan.Sejak tahun 2018, FIFA sudah melarang penggunaan gas air mata dan senjata api untuk menertibkan kerusuhan di stadion. Itu tertuang dalam regulasi FIFA mengenai Keselamatan dan Keamanan Stadion (Stadium Safety and Security) pasal 19.
Larangan FIFA mengacu pada penggunaan gas air mata yang ternyata berisiko bagi kesehatan. Belum diketahui, mengapa Pelarangan FIFA tampaknya diabaikan, atau belum dkiketahui piohak Polri dan PSSImasih menggunakannya di stadion Kanjuruhan. Bahkan. Larangan FIFA karena gas airmata berisiko bagi kesehatan. polisi mengakui, beberapa gas air mata yang ditembakkan malam itu sudah kadaluwarsa.
Efek domino gas air mata
Juru bicara Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular P2PTM Kementerian Kesehatan, dr. Eva Susanti menyatakan, penggunaan gas air mata memunculkan efek domino yang berujung banyak korban meninggal dan luka-luka.
“Gas air mata ada kegunaannya untuk mengatasi kerusuhan. Efeknya, yang terkena gas air mata bersiko cedera. Dalam kerumunan, orang bisa bertabrakan, jatuh, terinjak-injak, patah tulang dan sebagainya," ujarnya. "Perlu koordinasi lintas sektoral. Apakah gas air mata penting digunakan dan tidak boleh digunakan dalam jumlah banyak.”
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan menyatakan, penggunaan gas air mata kedaluwarsa merupakan pelanggaran. “Itu pelanggaran, bisa mematikan. Polri perlu evaluasi diri," papar anggota TGIPF Rhenald Kasali di Kemenko Polhukam. (sur)