Obesitas adalah salah satu masalah kesehatan paling serius abad ini; telah menjadi masalah lebih dari 25 tahun lalu. Kegemukan dan obesitas – sekali lagi – bukan masalah estetik, sebatas kelebihan lemak, tetapi dikategorikan sebagai penyakit.
Dampak dari peningkatan berat badan adalah resistensi insulin, suatu kondisi di mana hormon insulin tidak bekerja optimal mengolah gula darah agar bisa dipakai sel-sel tubuh menjadi energi.
Hal tersebut menyebabkan intoleransi glukosa, gangguan metabolisme lemak, hipertensi, sindroma polisistik ovarium (PCOS), dan akhirnya menjadi diabetes mellitus tipe 2 (DMT2).
Baca juga : Anak Penyandang Diabetes Tidak Boleh Gemuk, Kenapa?
Studi oleh Sinha dkk., tahun 2002 menyatakan 25% anak obesitas menunjukkan gejala intoleransi glukosa. Gejala intoleransi glukosa yang paling kentara adalah munculnya area kehitaman di lipatan kulit leher (tengkuk), ketiak dan punggung tangan; disebut akantosis nigrikans.
Akantosis nigrikan bukan karena tidak bersih saat mandi. Pada anak berusia > 10 tahun yang menunjukkan gejala akantosis nigrikan disarankan untuk melakukan pemeriksaan gula darah puasa, tiap dua tahun.
Pada usia > 2 tahun, seorang anak dianggap mengalami obesitas bila indeks massa tubuh > persentil 95. Dr. dr. Aman B. Pulungan SpA(K), Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menjelaskan, cara pertama mencegah kelebihan berat badan pada anak/ bayi adalah memberikan ASI ekslusif. Kandungan nutrisi dalam ASI sudah paling sesuai untuk bayi.
Riset Von Kriest et al., dalam British Medical Journal 1999 menyatakan dari 10.000 anak sekolah di Jerman, mereka yang mendapatkan ASI memiliki risiko 12% untuk menjadi gemuk / obesitas. Lebih kecil dibanding 17,1% pada anak-anak yang tidak mendapat ASI.
Risiko tersebut turun sesuai durasi pemberian ASI. Mereka yang mendapat ASI < 2 bulan risiko obesitas 14,9%, risiko obesitas 8,5% jika ASI diberikan 6-12 bulan. Bila durasi pemberian ASI diberikan > 12 bulan, risiko anak menjadi gemuk / obesitas sekitar tinggal 5,8%.
“Namun selain itu perlu juga memerhatikan pola makan setelah ASI ekslusif,” tambah dr. Aman yang juga adalah President of Asia Pacific Pediatric Association.
Langkah kedua yang direkomendasikan adalah memilih aktivitas fisik yang tepat. Pada anak > 2 tahun disarankan melakukan aktifitas fisik (bergerak) setidaknya 60 menit tiap hari.
Selain itu, lakukan olahraga yang sifatnya aerobik -menguatkan otot jantung dan paru - minimal 3 hari / minggu. Jenis olahraganya seperti jalan kaki atau bersepeda, “Tetapi lebih disarankan pilih olahraga yang ada pelatihnya, seperti sepak bola, basket, atau bela diri,” kata dr. Aman.
Yang tak kalah penting adalah peran nutrisi; ini adalah langkah ketiga. Perbanyak asupan buah dan sayur, serta sedikit konsumsi gula dan hindari added sugar (gula tambahan yang ada dalam makanan / minuman kemasan).
“Ada kaitannya antara otak dan pola makan. Otak akan menjadi adiksi jika terpapar gula dan karbohidrat terlalu banyak. Sehingga jangan terlalu cepat mengekspos anak dengan makanan-makanan tidak sehat,” terang dr. Aman.
Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan penerapan metode ‘5210’. Dijabarkan menjadi : 5) Makan buah dan sayur minimal 5 kali atau lebih pada kebanyakan hari. 2) Batasi waktu layar (screen time) yang tidak terkait sekolah sebanyak 2 jam atau kurang dalam sehari. 1) Lakukan aktivitas fisik satu jam tiap hari, dan 20 menit olahraga sedang-berat minimal 3x per minggu. 0) Konsumsi sedikit gula dan hindari added sugar, perbanyak air putih. (jie)