Posisi fatwa imunisasi MR dari MUI di tengah ancaman penyakit menular di Indonesia | OTC Digest
vaksin_MR_fatwa_MUI

Posisi fatwa imunisasi MR dari MUI di tengah ancaman penyakit menular di Indonesia

Siti Musdah Mulia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Majelis Ulama Indonesia (MUI) awalnya menyatakan imunisasi Measles Rubella (MR), yang diproduksi oleh Serum Institute of India, untuk meningkatkan kekebalan anak-anak agar tidak terserang penyakit campak dan rubella adalah haram karena dalam pembuatannya mengandung unsur babi.

Pernyataan keharaman ini telah menyebar luas melalui media massa dan menjadi rujukan orang tua, bahkan kepala daerah, menolak imunisasi MR untuk anak-anak. Dampak pemberitaan “keharaman” itu begitu besar. Sampai batas akhir September lalu, vaksinasi MR di luar Jawa baru mencapai sekitar 51%, jauh dari target 95%. Karena itu masa vaknisasi diperpanjang hingga 31 Oktober. Tentu saja pernyataan MUI bukan satu-satunya “yang bisa disalahkan” yang menjadi rujukan masyarakat untuk menolak vaksinasi tersebut.

Setelah muncul penolakan vaksin ini di berbagai daerah, MUI pusat mengeluarkan Fatwa Nomor 33 Tahun 2018, tentang kebolehan vaksinasi MR tersebut. Isi fatwa menjelaskan bolehnya penggunaan vaksin dengan alasan belum ditemukan vaksin lain yang berbahan baku halal dan karena unsur kedaruratan.

Kehadiran fatwa tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan masyarakat muslim agar tidak ragu lagi mendapatkan imunisasi Measles Rubella (MR). Keputusan vaksin MR dibolehkan oleh MUI didasarkan pada tiga hal. Pertama, kondisi darurat. Kedua, belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci. Ketiga, ada keterangan dari ahli yang kompeten bahwa ada bahaya yang bisa timbul bila tidak diimunisasi dan belum ada vaksin MR yang halal hingga saat ini.

Sebenarnya, MUI pernah menerbitkan Fatwa MUI No. 04 Tahun 2016 tentang Imunisasi, yang bersifat umum dan tanpa menyebut nama spesifik jenis vaksin, membolehkan imunisasi karena darurat.

Meski telah keluar fatwa yang membolehkan penggunaan vaksin, masyarakat sudah terlanjur takut dan enggan mengikuti imbauan pemerintah untuk melakukan imunisasi. Tentu saja kondisi ini sangat merugikan bagi upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Sebab, ahli-ahli medis dan pemerintah telah menyampaikan berulang kali bahaya yang akan terjadi manakala imunisasi tersebut diabaikan.

Sudah banyak ulasan dari para ahli yang menjelaskan bahwa imunisasi MR bisa mencegah penyakit campak dan rubella bukan hanya bagi individu yang divaksin, tapi juga bagi kelompok masyarakat.

Dalam konteks pembolehan vaksin karena alasan darurat, mestinya MUI menjelaskan secara panjang lebar, kondisi apa saja yang dimaksudkan dengan darurat sehingga di masa depan masyarakat menjadi lebih cerdas dalam merespons berbagai isu terkait fatwa MUI.

Dalam hukum Islam, bukan hanya obat yang mengandung unsur babi yang boleh dikonsumsi, makanan yang diolah dari daging babi sekali pun boleh dimakan jika alasannya darurat. Dalam banyak literatur keislaman dijelaskan bahwa darurat adalah kondisi di mana jiwa manusia terancam binasa.

Contohnya, terjadi masa paceklik yang luar biasa dan hanya tersedia daging babi, jika seseorang tidak memakan babi atau menggunakan obat yang terbuat dari unsur babi, maka seseorang itu akan binasa.

Saya berharap di masa depan tidak terjadi lagi kesimpangsiuran di masyarakat akibat pandangan keagamaan berupa fatwa dari MUI.

Kebolehan karena darurat

Salah satu prinsip kebijaksanaan hukum dalam Alquran ialah sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa) atau hal yang dapat membahayakan hukum (dharuriy). Di dalam Alquran telah ditentukan hukum perbuatan-perbuatan yang diharamkan, seperti keharaman riba, judi, khamar (minuman keras), dan memakan bangkai.

Keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain, ditegaskan dalam Surat al-Baqarah (2): 173 dan Surat al-Ma’idah (5): 3. Namun di balik ketegasan hukum dalam kedua ayat tersebut, Surat al-An’am (6): 119 menekankan adanya keadaan darurat: Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.

Pakar hukum Islam bermadzhab Imam Hanafi dari Baghdad pada abad ke-10, Abu Bakar Ahmad bin Ali al- Razi atau lebih dikenal sebagai Al-Jashshash menyatakan ayat-ayat Alquran tersebut menyatakan faktor darurat sebagai dasar kebolehan perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan.

Pertanyannya: apakah kompensasi tersebut dapat berlaku umum pada setiap orang mukmin? Menurut Ibn Abbas kebolehan (memakan bangkai) karena darurat berlaku untuk semua orang beriman. Pendapat ini juga didukung oleh Al-Jashshash sesuai dengan penafsiran yang diberikan Ibn Abbas, Hasan dan Masruk; bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah tidak berlebihan dalam memakan bangkai.

Apakah kebolehan karena darurat hanya berlaku pada perbuatan-perbuatan yang disebutkan secara khusus dalam ketiga ayat tersebut, atau juga berlaku pada semua perbuatan yang sudah diharamkan?

Dalam kaitan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa kebolehan atas perbuatan yang telah diharamkan, dalam keadaan darurat hanya terbatas pada perbuatan yang telah disebutkan secara khusus dalam ayat Alquran. Akan tetapi, dengan disepakatinya kaidah al-dharurat bi al-mahzhurat, maka pada prinsipnya semua ulama sepakat memilih pendapat kebolehan karena darurat berlaku untuk semua perbuatan haram atau terlarang.

Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa Alquran memberikan kebijaksanaan di balik kepastian hukum yang telah ditetapkannya, dengan maksud agar kemaslahatan manusia (al-mashlahat al-insaniyyah) dapat terwujud.

Posisi fatwa dalam hukum Islam

Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk: (1) hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam dan (2) hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakan pendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan penghampiran struktural.

Hukum Islam dalam bentuk kedua itu pun proses legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara formal untuk umat Islam, seperti Undang-Undang Pengadilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan UU Pengelolaan Zakat. Kedua, materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara formal, seperti UU Perkawinan yang disahkan pada 1974.

Fatwa sesungguhnya dapat digolongkan sebagai hukum normatif karena fatwa MUI meski tidak mengikat secara hukum, kenyataannya selalu menjadi pedoman berperilaku umat Islam Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah. Bahkan, pada masa Orde Baru fatwa MUI identik dengan suara pemerintah. Hal itu diakui sendiri oleh MUI. Fatwa MUI merupakan hasil seleksi dari fikih yang memang berwatak khilafiyah (mengandung perbedaan pendapat), yang oleh Nabi Muhammad dipandang sebagai rahmat.

Untuk itu, umat Islam dituntut saling menghargai dan mengedepankan sikap toleransi ketika mereka berbeda pendapat dalam memilih atau menentukan suatu fatwa yang akan diikuti.

Kemaslahatan masyarakat

Akan tetapi, mengingat bahwa pada umumnya fatwa MUI itu dijadikan pedoman oleh pemerintah, satu hal yang harus kita sadari bersama, dalam soal-soal kemasyarakatan, pemerintah diberi hak oleh hukum Islam untuk memilih suatu pendapat yang paling membawa kemaslahatan dan memberlakukannya kepada seluruh masyarakat sekalipun dalilnya lemah. Hal ini dikarenakan mazhab pemerintah adalah kemaslahatan.

Imunisasi lengkap, termasuk MR, adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi anak-anak dari ancaman penyakit campak dan rubella. Masyarakat punya hak untuk hidup sehat dan terbebas dari penyakit menular.

Apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah dapat mengikat bagi umat Islam yang ada di wilayah pemerintahannya dan umat Islam wajib mematuhinya. Bagi sejumlah ulama, khususnya ulama yang tergabung dalam MUI, pemerintah boleh memilih satu pendapat tertentu yang akan dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam konteks inilah diperlukan fatwa.

Dengan ungkapan lain, fatwa MUI dibuat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah, dan umat Islam yang merupakan kelompok mayoritas diharapkan dapat menerima dan melaksanakan fatwa tersebut sebagai bagian dari kepatuhan mereka terhadap pemerintah atau ulil amri.

Satu hal yang perlu dikampanyekan adalah bahwa tujuan akhir dari agama Islam adalah kemaslahatan dan keselamatan manusia itu sendiri. Dalam konteks imunisasi MR, mencegah penyebaran penyakit menular yang potensial menimpa puluhan jutaan anak Indonesia jauh lebih diutamakan dibanding proses pembuatan vaksin yang disebut mengandung unsur babi tersebut.

Artikel ini disarikan dari diskusi “Mari Berbincang tentang Vaksin” yang digelar oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) di Jakarta, 21 September 2018.

The Conversation

Siti Musdah Mulia, Professor of Islamic Studies, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

____________________________________

Ilustrasi: Designed by Rawpixel.com