Orang Mengeluhkan Gangguan Kejiwaan, Dengarkanlah dan Jangan Hakimi
kesehatan_mental

Orang Mengeluhkan Gangguan Kejiwaan, Dengarkanlah dan Jangan Hakimi

“Anda tidak mendengarkan, kan? Anda hanya menanyakan pertanyaan yang sama setiap minggu. “Bagaimana pekerjaanmu?” “Apakah kamu memiliki pikiran buruk?” Yang saya miliki hanyalah pikiran buruk”. Ini fragmen dialog yang diucapkan oleh Joaquin Phoenix saat memerankan Arthur Fleck dalam film Joker, dalam konseling rutinnya dengan pekerja sosial yang menangani kesehatan mental. Ia kecewa karena perempuan tersebut sekadar menunaikan pekerjaannya, dan tidak benar-benar mendengarkan cierta dan keluh kesah Arthur.

Mendengarkan. Inilah, menurut dr. Heriani, Sp.KJ(K), hal utama yang harus kita lakukan saat ada teman/kerabat bercerita mengenai gangguan kejiwaan yang dirasakannya. “Jadilah pendengar yang baik. tanyakan, apa yang dirasakannya? Dengarkan benar-benar, dan tanpa sikap menghakimi,” tegas psikiater yang praktik di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia melanjutkan, mengungkapkan pertanyaan yang hanya berupa rutinitas tanpa benar-benar mendengarkan, turut membuat Joker makin terpuruk.

Harus diakui, masih banyak penghakiman terhadap orang yang mengeluhkan gangguan mental. Tidak jarang kita menghakimi, itu hanya karena mereka kurang beribadah atau kurang bersyukur. Inilah yang membuat orang dengan gangguan mental malas menceritakan keluhan mereka, dan akhirnya tidak bisa mendapat pengobatan yang memadai. Saran untuk beribadah dan mendekatkan diri ke Tuhan bukannya jelek, tapi ini tidak cukup. Orang dengan gangguan mental juga membutuhkan pertolongan medis, tidak semata secara spiritual.

Ketika ada orang yang menceritakan masalah kejiwaan yang dihadapinya, berarti ia percaya dengan Anda.ini termasuk cerita mengenai keinginan untuk bunuh diri, atau menyakiti diri sendiri. Jagalah kepercayaannya dengan mendengarkan baik-baik tanpa menghakimi, serta menjaga ceritanya; jangan ungkapkan kepada orang lain. Sarankanlah ia untuk berobat kepada tenaga ahli, misalnya psikiater atau psikolog. “Mungkin ia membutuhkan obat atau terapi. Untuk mereka yang sakit, jangan self-diagnose. Biarkan ahli yang melakukan diagnosis,” ujar dr. Heriani, dalam diskusi bertajuk Prevent Suicide by Loving Yourself di Jakarta beberapa waktu lalu.

Tidak perlu malu berkonsultasi dan berobat. Obat-obatan untuk masalah kejiwaan sudah ditanggung BPJS. Bahkan beberapa Puskesmas di Jakarta sudah ada pelayanan dengan psikiater. Memang, sistem yang berjenjang kadang menyulitkan. Terlebih bila tidak ada psikiater di fasilitas kesehatan terdekat, sehingga tidak bisa mendapat psikoterapi di sana. Namun jangan anggap ini jalan buntu.

Setelah dirujuk ke RS untuk konsultasi dengan psikiater lalu diagnosis ditegakkan, obat bisa ditebus secara gratis di Puskesmas terdekat. “Untuk psikoterapinya, bila tidak ada psikiater di fasilitas kesehatan terdekat, bisa minta dirujuk ke RS. Memang dengan biaya sendiri, tapi cukup terjangkau. Dan paling tidak, obat-obatannya sudah ditanggung,” tutur dr. Heriani.

Jangan salah kaprah mengenai obat psikoterapi yang perlu dikonsumsi terus menerus. “Pada kasus tertentu, mungkin harus terus minum obat agar penyakitnya terkontrol. Ini bukan ketergantungan,” tegas dr. Heriani. Memang, ada pula kasus yang butuh obat selama beberapa saat, lalu penyakit bisa remisi. Meski demikian, tetap harus kontrol ke psikiater secara rutin untuk memonitor kondisi.

Sebaiknya, berkonsultasilah dengan psikiater yang sama sejak awal. “Tentu lebih nyaman pula karena penyandang tidak harus mengulang-ulang cerita ke psikiater berbeda,” pungkas dr. Heriani. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Hands photo created by freepik - www.freepik.com