Atasi Obesitas dengan Terapi Perilaku | OTC Digest

Atasi Obesitas dengan Terapi Perilaku

Bagas (27 tahun) asyik menyantap  dua potong ayam goreng crispy di sebuah restoran cepat saji di Pasar Festival, Kuningan, Jakarta. Di antara orang-orang yang sedang makan, ia tampak paling menonjol. Berat badannya 100 kg lebih.

“Saya makan banyak karena kesal. Lewat berbagai diet, berat badan turun 2-3 kg. Tapi naik lagi dengan  cepat,” keluhnya.

Yang dialami Bagas banyak terjadi pada orang lain. Angka kejadian obesitas tiap tahun memang terus meningkat. Menurut dr. Grace Judio-Kahl, MSc, MFl, Dht, konsultan penurun berat badan dari Klinik lightHOUSE, Jakarta, “Walau sudah diet, nafsu ngemil biasanya masih ada. Sehingga, pada beberapa kasus perlu obat untuk menghambat penyerapan kalori.”

Masalah yang sebenarnya, menurut dr. Grace, ada pada perilaku. Itu sebabnya diet saja tidak cukup, perlu menyetel ulang pola pikir. “Itu perlunya terapi perilaku kognitif (cognitive behaviour therapy). Tujuan terapi perilaku adalah agar penderita obesitas tidak tergantung pada treatment atau obat-obatan,” ujarnya.

Perubahan perilaku dilakukan dengan menanamkan logika baru, tentang konsep hidup sehat. Bukan dipahami sebagai disiplin, yang artinya boleh dan tidak boleh. Terapi perilaku kognitif membentuk pola pikir bawah sadar, sehingga secara otomatis seseorang melakukan sesuai logika yang benar.

“Contohnya kalau lapar makan, kedinginan pakai jaket atau selimut. Mereka yang alam bawah sadarnya jelek, kedinginan justru makan bakso. Kalau stres larinya ke makanan. Padahal, seharusnya memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah,” ujar dr. Grace. 

Bisa dibantu dengan hipnoterapi. Dalam kondisi terhipnotis, logika ‘baru’ yang diberikan lebih mudah masuk. Tapi, nilai baru itu akan mental jika ada defense mechanism karena trauma tertentu, atau belum siap berubah.

“Misalnya pernah punya pengalaman kelaparan. Dia 12 bersaudara yang selalu tidak kebagian makanan, berlangsung selama 20 tahun. Sekarang setelah mandiri, kalau ada makanan dia merasa harus ngambil walau tidak dimakan, minimal nyicip sedikit,” katanya. “Untuk yang seperti itu tidak cukup terapi perilaku dan hipnoterapi.” 

Terapi perilaku kognitif bersifat personal, sesuai tingkat kesulitan, dan rerata waktu yang dibutuhkan untuk mengubah perilaku 12 minggu. Terapi perilaku bisa dilakukan pada penderita kelainan pola makan parah seperti, compulsive overeating (merasa tergantung dengan makanan), emotional eating (makan karena stres), high eating syndrome (bangun tengah malam untuk makan), anoreksia dan bulimia.

Tahapan terapi

Menurut dr. Grace Judio, terapi perilaku dilakukan dengan beberapa tahap, seperti:

1. Konsultas dengan psikolog untuk melihat kepribadian.

2. Terapi makanan, dengan membandingkan makanan yang lebih sehat. Tujuannya agar bisa memilih makanan yang lebih baik.

3. Psikologis / hipnoterapi untuk memasukkan logika “baru” dan menghilangkan pikiran yang “menari” menggoda untuk makan.

4. Setelah diajarkan, praktikkan. (jie)