Pembunuh Balita Nomor Satu itu Bernama Pneumonia | OTC Digest

Pembunuh Balita Nomor Satu itu Bernama Pneumonia

Saat ini negara sedang berkonsentrasi untuk menurunkan angka stunting pada balita, tetapi tahukah Anda bila ada ‘pembunuh’ balita tersembunyi yang lolos dari perhatian, yakni pneumonia.

Pneumonia sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian pada balita. Tercatat ada 5,9 juta kematian balita di dunia tiap tahunnya, dengan 16%-nya disebabkan oleh pneumonia. Sekitar 80% kematian akibat pneumonia pada anak terjadi pada usia kurang dari dua tahun.

Pada tahun 2018 lalu, tercatat 19.000 balita di Indonesia meninggal akibat pneumonia, artinya lebih dari dua balita meninggal setiap jam karena penyakit radang paru ini. Pada mereka yang selamat, masih ada risiko lain, yakni mengganggu perkembangan otak, menurunkan kecerdasan.  

Pneumonia merupakan peradangan di jaringan paru (alveoli) yang disebabkan oleh virus, bakteri atau jamur. Bakteri tersering penyebab pneumonia adalah Pneumokokus (Streptococcus pneumonia) dan Hib (Hemophilus influenza tipe B). Pada kelompok virus ada respiratory syncytial virus (RSV). Selain itu penyakit seperti pertusis (batuk rejan) dan campak bisa memicu komplikasi berupa pneumonia.

Dr. dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K), Ketua UKK Respirologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menerangkan bayi sangat rentan terserang pneumonia. Selain karena imunitasnya yang belum matang, saluran napasnya pun lebih pendek.

“Saat bayi kena radang di hidung, bila pada orang dewasa butuh waktu untuk bisa sampai ke saluran napas bawah, pada bayi karena pendek cepat sekali menjalar ke saluran napas bawah dan jaringan paru. Demikian juga karena diameter pipa napas bayi masih sempit, sehingga bengkak sedikit bisa langsung tersumbat,” urai dr. Nastiti dalam seminar Stop Pneumonia! Beraksi Sekarang, di Jakarta (4/12/2019).  

Saat terjadi infeksi di paru, alveoli (ujung jaringan paru) terisi cairan peradangan, lendir atau zat lain. Alveoli berfungsi sebagai kantung udara, di mana terjadi pertukaran CO2 dengan O2. Infeksi menyebabkan alveoli tidak bisa mengangkut oksigen.

Bisa terjadi gagal napas, oksigen yang ditransfer dari paru-paru ke darah berkurang. Kadar oksigen dalam darah rendah, sehingga tubuh kekurangan oksigen (hipoksia), terutama di otak dan jantung. Kematian akibat pneumonia utamanya karena hipoksia.

Pada anak-anak yang kurang gizi, menderita penyakit jantung bawaan atau mengidap HIV, pneumonia bisa terjadi berulang. Kondisi hipoksia yang terjadi dalam waktu lama bisa menyebabkan gangguan perkembangan otak.

“Anak itu sebenarnya secara genetik punya potensi untuk pintar dengan IQ 120, karena hipoksia dalam waktu lama ia mengalami kecacatan seperti akibat cerebral palsy, atau kesulitan belajar,” tambah dr. Nastiti.

Gejala

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, SpA(K), MSc, PhD, Ketua Satgas Imunisasi IDAI, dalam kesempatan yang sama menjelaskan, bila bayi/anak mengalami demam, batuk, pilek, disertai dengan napas cepat, itu adalah gejala khas pneumonia.

Tanda-tanda lain yang perlu diperhatikan adalah munculnya tarikan dinding dada ke dalam, ada suara serak/ kasar (stridor) atau suara ngik (mengi) saat bernapas, atau anggukan kepala setiap kali bernapas sebagai refleks untuk mendapatkan udara. Si kecil perlu segera di bawa ke rumah sakit.

Baca juga : Kenali Tanda Bahaya Pneumonia

Pneumonia rentan terjadi pada bayi / anak yang tidak mendapatkan ASI ekslusif, tidak mendapatkan imunisasi lengkap, berat bayi lahir rendah  (BBLR), malnutrisi, defisiensi vitamin A, terpapar polusi udara dalam/luar rumah.

Mereka yang hidup dalam lingkungan kumuh, miskin, padat, jorok dan kotor -disingkat dengan ‘kumis pak joko’- juga sangat rentan terserang pneumonia.

“Pencegahannya adalah wajib berikan ASI ekslusif, imunisasi lengkap dan vaksinasi, serta suplementasi vitamin A dua kali setahun pada balita. Untuk mencegah berat bayi lahir rendah dengan pemeriksaan kehamilan yang baik,” tutur Prof. Cissy.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Aman B. Pulungan, SpA(K), merasa prihatin dengan tingginya angka kematian akibat pneumonia. Seharusnya pneumonia tidak terjadi, karena sangat bisa dicegah. Salah satunya lewat vaksinasi/imunisasi.

“Masyarakat kita banyak yang ragu dengan kualitas vaksin buatan dalam negeri, padahal Turki, Nepal dan Bangladesh memakai dan percaya dengan vaksin buatan Indonesia,” pungkas dr. Aman. (jie)