Menanggapi Fenomena Obat Kanker Akar Bajakah dari Sisi Ilmuwan | OTC Digest

Menanggapi Fenomena Obat Kanker Akar Bajakah dari Sisi Ilmuwan

Belum lama ini dua siswa SMA Negeri 2 Palangka Raya, Kalimantan Tengah, berhasil meraih emas dalam ajang World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Utara. Mereka menemukan obat kanker payudara menggunakan akar Bajakah, tumbuhan khas Kalteng.

Berdasarkan hasil uji laboratorium tumbuhan ini memiliki kandungan antioksidan yang berlimbah, sehingga bermanfaat untuk obat kanker alami. Ketika bubuk Bajakah diuji cobakan ke tikus, ditemukan bahwa sel tumor bisa menghilang dalam waktu dua minggu. 

Harus diakui inovasi Aysa Aurealya Maharani dan Anggina Rafitri tersebut memberi harapan besar untuk pengobatan kanker, salah satu penyakit katastropik karena menimbulkan beban pembiayaan yang besar dan sulit disembuhkan.

Tetapi untuk benar-benar bisa menjadi obat kanker, menurut Prof. Dr. dr. Budi Wiweko, SpOG(K), MPH, Wakil Direktur Medical Education Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, masih membutuhkan jalan yang panjang.

“Untuk bisa menjadi obat bisa butuh sampai 20 tahunan dari proses penemuan zat aktifnya. Karena memerlukan serangkaian uji coba,” terang Prof Iko, demikian ia biasa disapa. Dimulai dari uji praklinis pada hewan, kemudian uji klinis (pada manusia) fase I, II, III, sebelum akhirnya bisa diproduksi masal.

Uji klinis bertujuan untuk mencari standar keamanan suatu zat. “Dengan dosis sekecil mungkin tetapi dia safe untuk manusia, tidak toksik, dan mampu membunuh penyakit,” tambah Prof. Iko dalam acara Technology Transfer Office (TTO) Kunci Utama Agar Riset Indonesia Tak Hanya Masuk Kotak, beberapa waktu lalu.  

Tanpa serangkaian uji coba, konsumsi akar Bajakah sifatnya adalah jamu, bukan obat. Sebagai jamu belum diketahui kandungan zat aktif – dari ratusan zat aktif dalam akar Bajakah - yang efektif membunuh sel kanker.

“Kalau obat, misalnya obat demam, zat aktifnya paracetamol dengan dosis 500 mg. Sementara akar Bajakah zat aktifnya belum tahu, pokoknya minum saja sejumput, kemudian direbus. Itu pun tidak apa-apa jika sebagai jamu,” urai Prof. Iko. “Sebagai jamu tidak perlu uji klinis.”

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, terbagi dalam tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, yakni jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka.

Jamu merupakan minuman yang berasal dari tanaman yang khasiatnya dibuktikan secara turun-temurun  (belum berdasarkan standar uji klinis), namun tidak boleh mengklaim memberikan kesembuhan penyakit. Diproduksi secara sederhana dengan peralatan yang sederhana dan bahan bakunya belum terstandar.  

Sementara obat herbal terstandar khasiatnya sudah melalui uji praklinis pada hewan, bahan bakunya telah distandardisasi dan diproduksi di fasilitas yang modern. Fitofarmaka merupakan ‘kasta’ tertinggi karena sudah melalui uji preklinis dan klinis pada manusia.

“Gara-gara fenomena akar Bajakah ini saat ini banyak pasien kanker yang tidak mau melanjutkan pengobatan, mereka memilih minum teh akar Bajakah,” keluh Prof. Iko.

Pemanfaatan jamu untuk pengobatan suatu penyakit diperbolehkan, selama tidak meninggalkan obat utamanya, dan dikonsultasikan dengan dokter.  

Pentingnya TTO

Berkaca dari kasus akar Bajakah, menutur Prof. Iko, dibutuhkan suatu badan usaha yang mampu menjembatani antara peneliti dengan penyandang dana, sehingga akhirnya bisa diproduksi secara masal. Ini adalah peran Technology Transfer Office (TTO).

Lewat TTO, “Akar Bajakah bila dilihat memiliki potensi maka akan didampingi apakah bisa diproses menjadi yang paling rendah adalah simplisia (bahan alami tanaman yang belum mengalami pengolahan apapun), bioactive fraction, atau yang paling tinggi compound (senyawa),” katanya.     

Salah satu peran TTO adalah membawa penelitian ke ranah komersial. Untuk itu dibutuhkan kerjasama antara dunia pendidikan (universitas), pusat riset dan industri.

“Penelitian harus terus diasah, didorong dan difasilitasi pemerintah, akademisi dan industri. Selanjutnya dibutuhkan komunikasi intensif untuk membuka peluang prototype penelitian masuk ke ranah komersialisasi agar riset tindak hanya masuk kotak,” tambah Prof. Iko yang juga merupakan pendiri Indonesia Innovation for Health (INNOVATE) FK-UI sebagai TTO pertama di bidang kesehatan di Indonesia.  

TTO sebenarnya sudah diisyaratkan untuk dibentuk dalam UU No.18 tahun 2002 pasal 13 yang diganti menjadi UU Sistem Nasional IPTEK tahun 2019. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa perguruan tinggi dan litbang wajib mengusahakan penyebaran informasi penelitian dan pengembangan melalu Sentra HKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Namun dari 80 Sentra HKI di Indonesia, hanya 18 yang aktif; 5 Sentra HKI aktif mensosialisasikan penemuannya sementara sisanya (13) melindungi / memproteksi. (jie)