Jadilah "Support System" bagi Orang Tua yang Depresi | OTC Digest

Jadilah "Support System" bagi Orang Tua yang Depresi

Terapi depresi pada orang tua sedikit berbeda dengan pengobatan depresi pada usia muda. Biasanya, dokter akan memulai dengan dosis rendah, dan dinaikkan perlahan-lahan bila diperlukan. Untuk pilihan obatnya pun biasanya monoterapi (hanya satu macam obat), dengan spectrum yang sempit. Ini untuk menghindari interaksi dengan obat lain, mengingat orang lanjut usia (lansia) biasanya juga minum berbagai obat lain untuk penyakitnya.

Tak perlu heran bila selama pengobatan, dokter meminta kita bolak-balik mengantar orang tua. Dijelaskan oleh dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K), pengobatan dibagi jadi tiga fase: fase akut, fase stabilisasi, dan fase pemeliharaan.

Pada fase akut (2 bulan), pengobatan ditujukan untuk mengatasi gejala-gejala utama depresi. Ini adalah fase untuk mencari obat dan dosis yang sesuai. “Kita harapkan 70% dari gejala-gejala akut depresi sudah bisa teratasi,” ujar dr. Suryo.

Setelah itu masuk ke fase stabiliasi (6 bulan). Selama fase ini, dilanjutkan obat dan dosis yang telah ditemukan dalam fase akut. Setelah enam bulan dievaluasi lagi, “Bila kondisinya stabil tidak ada kekambuhan, sudah bisa masuk fase pemeliharaan.”

“Di fase pemeliharaan, dosis obat bisa diturunkan secara perlahan, sampai dosis terkecil yang bisa memelihara kestabilan,” tutur dr. Suryo, yang praktik di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Fase ini biasanya berlangsung satu tahun. Bila orang tua kita pulih stabil dan tidak lagi menunjukkan gejala-gejala depresi, obat bisa dihentikan.

Jangan alpa, tetap perlu monitoring. Setelah fase pemeliharaan selesai, tetap lakukanlah kontrol rutin. Dianjurkan dua bulan sekali, untuk mendeteksi dini seandainya gejala depresi kambuh.

 

Terapi di luar obat

Tak hanya obat, terapi lain pun diperlukan. Misalnya dengan CBT (cognitive behavior therapy), yang dinilai paling efektif. Pelan-pelan, ajaklah orang tua untuk mulai bisa berpikir positif, rasional, dan menghindarkan persepsi negatif. Bila mereka merasa ditinggalkan, doronglah untuk ikut dalam kegiatan lansia dan menjadi lebih berperan. CBT umumnya dilakukan dalam 10-20 kali pertemuan, dengan jarak antar pertemuan dua minggu.

Terapi lain yang dianggap efektif yakni terapi kelompok. Ini adalah bentuk terapi suportif, di mana kelompok itu sendiri bisa menjadi bagian yang menghidupkan aktivitas sosial lansia dengan depresi. Terapi kelompok dilakukan dalam 10-20 kali pertemuan, dengan jarak antar pertemuan dua minggu. “Yang tadinya dimulai dengan terapi kelompok, lama-lama pasien terlibat dalam kelompok lansia. Itu menjadi bagian yang akan memelihara depresi menjadi pulih stabil,” ucap dr. Suryo.

Tak kalah penting, support system harus dibentuk. “Keberadaan keluarga yang rutin menjenguk dan memberi perhatian menjadi bagian yang membangkitkan energi positif dari pasien,” tegas dr. Suryo.

Kita dan anak-anak kita, sebagai keluarga terdekat, harus jadi bagian dari support system yang dibutuhkan orang tua. Pahamilah bahwa keluhan somatis yang dirasakan orang tua bukan mengada-ada, dan keluhan kognitifnya adalah bagian dari depresi. Keluarga juga harus berkomitmen untuk mengajak pasien berkegiatan sosial dan rekreasional.

 

Fasilitas pendukung lansia

Sangat disayangkan, negara kita belum banyak memfasilitasi lansia untuk bisa mandiri. Di kendaraan umum misalnya. Bus TransJakarta (TJ) memang menyediakan tempat duduk khusus untuk lansia, dan ruang bila lansia menggunakan kursi roda. Namun jalur menuju halte TJ dengan tanjakan yang panjang, sangat menyulitkan bagi lansia. Patut dihargai, sudah mulai dipasang lift di beberapa halte TJ. Semoga segera dipasang di semua halte.

Di mal dan taman, minim tempat duduk. Akan menyulitkan bagi lansia, yang perlu duduk setrlah berjalan kaki beberapa lama. Supermarket dan RS pun belum menyediakan fasilitas yang memprioritaskan lansia. “Di negara yang sudah lebih sadar mengenai kebutuhan lansia, di supermarket disediakan kursi roda, sehingga lansia bisa menggunakannya saat berbelanja,” ujar dr. Suryo. Dan alangkah baiknya bila ada antrian khusus lansia di supermarket maupun RS.

Tentu, butuh waktu panjang hingga negara kita jadi lebih ramah terhadap lansia. Sementara itu, yang bisa kita lakukan adalah lebih perhatian pada orang tua kita yang tidak lagi muda. Habiskanlah waktu lebih banyak bersama mereka. Sekadar mengobrol, berjalan-jalan di taman atau berbelanja ke supermarket. Jangan lupa bawa kursi roda, sehingga mereka bisa beristirahat dengan nyaman saat mulai lelah berjalan.

Namun, jangan membuat mereka merasa tidak berdaya. Biarkanlah mereka melakukan pekerjaan rumah tangga bila mereka menginginkannya. Menurut dr. Suryo, bekerja justru memberi manfaat positif bagi lansia. “Bagian pertama terkait dengan peran. Yang kedua, bekerja sebagai aktivitas rutin akan merawat fungsi kognitif sehingga mengurangi risiko kemunduran kognitif dan kehilangan kemandirian,” tuturnya.

Di beberapa negara misalnya Singapura, banyak lansia yang bekerja sebagai cleaning service atau sopir taksi. Selain membantu merawat fungsi kognitif lansia, hal ini juga menjaga harga diri mereka karena tetap memiliki penghasilan dan bisa mandiri secara finansial. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: People photo created by freepik - www.freepik.com