Charles Saerang, Jamu Itu Budaya Dengan Khasiat Nyata | OTC Digest

Charles Saerang, Jamu Itu Budaya Dengan Khasiat Nyata

Di masa lalu, di banyak wilayah di Indonesia, ajang minum jamu biasa dijadikan sebagai social gathering. Di sore hari, sejumlah orang nongkrong di pondok-pondok yang menjual jamu sambil ngobrol.

Di Tegal sampai Cirebon dan beberapa daerah di Bali, kebiasaan minum jamu sambil ngobrol sampai kini masih berlangsung. “Di Indramayu sampai Tegal, kemudian Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso, jamunya seduhan. Kalau di Sumatera agak beda. Di sana ada pil, kapsul sampai aromaterapi dan spa,” ujar Dr. Charles Saerang (66 tahun), pimpinan generasi ketiga pabrik jamu Nyonya Meneer.

Apa bahan-bahan unggulan jamu Indonesia?

Kita punya bahan jamu yang tidak ditemukan di negara lain. Ada 5: pegagan, temulawak, jahe, kencur dan sambiloto. Jahe emprit kita luar biasa. Kita juga punya jahe putih dan terakhir kita menemukan jahe hitam.

Jahe bagus untuk mengobati pusing, mual dan muntah di laut. Temulawak punya kembangan sampai 40 propertis, misalnya bisa untuk darah tinggi atau untuk menurunkan SGPT/SGOT.

Jamu, orang dulu bilang, bisa bikin enak makan, enak tidur dan enak ke belakang. Itu syarat orang sehat. Nah, sekarang apa pun yang diteliti dari 5 bahan tersebut, hasilnya akan luar biasa.

Bagaimana posisi jamu dalam terapi kesehatan?

Minum jamu adalah usaha untuk mencegah penyakit dan mempertahankan kesehatan, bukan sebagai terapi kuratif (penyembuhan). Itu sebabnya, jamu mesti rutin diminum agar khasiatnya terasa. Kalau sekali minum jamu langsung terasa khasiatnya, justru bahaya karena berarti dicampur bahan kimia.

Penelitian-penelitian tentang jamu sudah banyak dilakukan. Kita dorong yang sifatnya single compound (berbahan tunggal), seperti temulawak untuk darah tinggi saja misalnya. Atau daun kuning di Makasar, yang bisa menurunkan SGOT/SGPT hati lebih baik dari temulawak.        

Selain untuk mengusir masuk angin, untuk apa lagi jamu dapat dimanfaatkan?

Pertama untuk rematik. Ya, semakin tua umur seseorang makin besar kemungkinan menderita rematik. Kedua, diabetes. Di Jogjakarta dan Jawa Tengah, kenaikan jumlah penderita diabetes sampai 400% setahun, karena makanannya banyak yang pakai gula.

Ketiga, menurunkan kolesterol. Kalau ada produk yang menyangkut kolesterol cepat lakunya. Sayang, sekarang belum ada produk kolesterol yang bagus. Keempat darah tinggi, karena makan kalau tidak asin rasanya tidak enak.

Seperti apa perkembangan jamu di Indonesia?

Di Indonesia, jamu sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Dari data yang ada, perusahaan jamu di Jawa dirintis oleh Nyonya Item dan Nyonya Kembar di Ambarawa, Jawa Tengah, tahun 1825. Sekitar tahun 1900, berdiri pabrik Jamu Jago dan Nyonya Meneer di Semarang, Air Mancur di Solo, Jamu Tenaga Tani di Aceh dan Jamu Eyang Laut di Banjarmasin.

Saat ini tercatat sekitar 10 industri jamu skala menengah dan sekitar 1000 industri jamu kecil. Kami umumnya masih mengandalkan tenaga kerja manusia; hampir 3 juta orang yang bekerja di industri jamu. Jadi, jamu termasuk aset nasional karena menyerap banyak tenaga kerja.

Sejak tahun 1955, terutama sejak krisis tahun 1997, banyak industri farmasi yang ikutan masuk ke industri jamu. Masuk angin menjadi daya tarik luar biasa. Ada pergeseran. Yang laku bukan semata-mata jamu, tapi lebih ke produk seperti aromaterapi, spa.  Juga, ekspor bahan baku jamu seperti jahe ke India dan China.

Apa tantangan yang dihadapi?

Banyak. Dulu sempat diusulkan untuk mengganti nama “Jamu” dengan OAI (Obat Asli Indonesia) atau OTI (Obat Tradisional Indonesia). Saya bilang, jangan. Nama “jamu” sudah dikenal sejak jaman kuno dan sudah menjadi identitas Indonesia. Jadi, pemerintah harus mempertahankan.

Nama aneka jamu jangan sampai diubah atau dihilangkan, karena nama itu kan punya sejarah dan filosofi sendiri. Sebaiknya,  “jamu” tetap menjadi payungnya, apakah itu aromaterapi, fitofarmaka atau herbal terstandar.

Masalah lain, sekarang ini industri jamu kekurangan bahan baku. Pengusaha jamu umumnya tidak punya lahan pertanian sendiri yang memadai, akibatnya mengandalkan petani yang harus melalui perantara (broker). Itu membuat kualitas bahan baku naik turun.

Lebih-lebih lagi, bahan baku seperti jahe yang kualitasnya baik diekspor ke India dan China, sehingga kita tinggal dapat sisanya. Di sisi lain, sekarang kita impor ekstrak jahe dari China dan harganya 50% lebih murah. 

Masalah lain adalah jamu yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Masalah ini sudah berlangsung lebih dari 30 tahun, tapi belum bisa terselesaikan. Saya pernah audiensi di TV. Seorang pemirsa mengatakan bahwa merasa mantap minum jamu yang ada bahan kimianya. Sudah 5 tahun minum jamu BKO, tidak apa-apa, katanya. Tapi, yang mati mungkin banyak lho.

Jamu kalau tidak cespleng, tidak dianggap  mantap. Jamu dengan BKO punya pasar sendiri. Perlu diatur, berapa banyak bahan kimia itu dibolehkan. Jamu BKO  nantinya disebut suplemen atau apa. Di China, antara jamu dengan kimia dan non kimia dipisah.

Berbahaya kalau seseorang merasa jamu dengan bahan kimia itu enak. Misalnya, diberi banyak paracetamol, itu kan justru bisa jadi racun. Celakanya, di Kuala Lumpur ada satu daerah yang khusus memroduksi jamu dengan bahan kimia. Untuk rematik, kesegaran badan atau obat kuat dan diberi label made in Indonesia.

Kami sendiri yakin, jamu tanpa embel-enmbel bahan kimia akan terus berkembang. Untuk itu, kami antara lain menjalin kerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta dengan membuka pendidikan program diploma 2 (D2). Juga  menyelenggarakan program khusus mengenai jamu, bekerja sama dengan Universitas Trisakti, Jakarta.

Kalau mau maju, kita harus mengangkat keaslian jamu. Dan, siapa yang mengangkat kalau bukan kita? Jamu itu tradisi budaya kita, dan khasiatnya nyata.  (jie)