Sisca Wirjawan : Tangis Saya Bukan Karena Penyakit | OTC Digest

Sisca Wirjawan : Tangis Saya Bukan Karena Penyakit

“Saya orang yang beruntung, karena diberi tanda-tanda sakit sengkring-sengkring di payudara kanan. Diagnosa dokter, saya mengidap kanker. Saya beruntung karena banyak penderita kanker yang tidak menunjukkan gejala apa-apa, tahu-tahu sudah stadium tinggi.

“Awalnya, rasa sengkring itu muncul sebulan sekali, tidak begitu lama menjadi seminggu sekali. Makin lama rasa sakit itu menjadi 3 hari sekali, kemudian  setiap hari sakit. Seperti ada bisul di dalam payudara,” kenang Sisca Wirjawan.

Itu terjadi sekitar Juni 2009. Ia melakukan medical chek up, dan mendapat gambaran dari hasil USG (ultrasonography); gambaran USG payudara orang sehat, dan payudara penderita kanker.

Saat itu Sisca diprediksi menderita tumor ganas. Dokter merujuk ke 3 dokter ahli kanker, salah satunya di Jakarta Breast Center, dan melarangnya mencari pengobatan alternatif.

“Dari awal, saya memang tidak berpikir pergi ke mana-mana, selain berobat secara medis. Banyak cerita, termasuk kakak teman saya yang justru tidak tertolong gara-gara lebih memilih ke pengobatan alternatif,” terang karyawan sebuah perusahaan asuransi di Jl. Sudirman, Jakarta ini.

Suami menangis

Wanita berusia 46 tahun ini bercerita, dibandingkan dirinya, sang suami, Darmadi Wijaya (48 tahun) justru lebih kuatir. Ibarat minum kopi pahit, suami seperti ingin  meminumnya saat masih panas, sementara sang istri sabar menunggu sampai kopi tersebut lebih dingin agar lebih bisa dinikmati.

“Suami saya  menangis. Telepon mertua, nangis lagi, pokoknya semua keluarga sedih. Tidak bisa disalahkan, dia membayangkan yang terburuk. Kanker sejauh ini kan gambarannya selalu berujung pada kematian. Bisa dikatakan, suami membayangkan segala sesuatu dari susahnya dulu. Jadi dahinya selalu berkerut, ha ha ha.

“Kalau saya orangnya nrimo. Apa yang sudah terjadi ya sudah, tinggal bagaimana menghadapinya. Kaget dan sedih itu pasti. Waktu pertama kali mendengar bahwa tumor saya sepertinya ganas, saya tidak punya bayangan berobatnya bagaimana, terapinya seperti apa. Sama sekali blank.

“Malamnya saya mencari informasi di internet, tentang penyakit ini. Saya menemukan blog ditulis oleh penyintas, yang sudah stadium 4 dan nyebar ke tulang tapi dia tetap bekerja. Saya mencoba untuk tahu lebih banyak, kanker jenisnya apa dan terapinya apa. Setelah membaca blog itu, beban saya berkurang. Saya punya bayangan, harus bagaimana ngadepinnya.

“Saya cetak informasi itu, jadi setumpuk tebal, dan saya kasih ke suami. Dari blog itu kami tahu, dia pasien dari Jakarta Breast Center dan siapa dokternya. Terus, saya menghubungi Jakarta Breast Center dan langsung mendaftar.

Tahapan terapi

Setelah melalui cek darah lengkap dan biopsi (pengambilan jaringan), diketahui Sisca mengidap kanker payudara stadium 2A, namun tidak diketahui dari jenis apa.

Hasil tes tidak menunjukkan karena hormonal atau apa. Entah karena hormon estrogen (hormon seks wanita) atau progesteron (hormon yang memengaruhi menstruasi). Atau karena protein HER2 (Human Epidermal Growth Factor Receptor 2 adalah protein yang berperan melakukan pembelahan sel epitel. Peningkatan protein ini potensial menjadi kanker). Semua negatif.  

“Karena tidak tahu ‘tikusnya’ di mana, saya harus melewati semua tahapan dari operasi sampai kemoterapi, padahal sel kankernya pun belum menyebar. Operasi pengangkatan tumor dilakukan akhir Juni 2009. Setelah itu saya radioterapi tiap hari selama 30 kali di RSCM, kemudian kemo 8 kali per 3 minggu sekali.

“Saat di radioterapi saya bertemu banyak orang yang kondisinya lebih parah. Saya  berpikir bahwa saya harus kuat. Selama masa kemo, saya tetap bekerja. Setelah kemo, saya off seminggu, bekerja 2 minggu, kemo lagi dan off  lagi, begitu terus sampai 8 kali.

Yang ditakuti wanita ketika kemo adalah rambut rontok. Karena rambut adalah ‘mahkota’. Setelah kemo pertama rambut mulai rontok, karena tidak betah rambut saya potong semua. “Itu pertama kali saya nangis. Jadi bukan karena penyakit, tapi karena rambut rontok ha ha ha.  

“Sejak radioterapi sampai kemo, tiap hari saya minum kaldu daging khas dalam yang dicincang dan dikasih ginseng. Umumnya, kalau dikemo leukosit ngedrop sampai harus infus; saya tidak.

“Selesai kemo, dokter menyarankan untuk mengubah pola hidup, perbanyak makan sayur, buah dan olahraga. Sekarang, ibaratnya sayur dan buah jadi nasi, nasinya jadi lauk. Tiap pagi minum jus sayur lidah buaya, pare, paprika hijau, seledri, timun jepang dan apel hijau. Rasanya  tidak enak, tapi cuma semenit kok,”  terangnya.

Pembawa pertama

Dokter menjelaskan, dilihat dari usia, ada dugaan karena faktor genetik. Setelah ditelusuri, dari silsilah keluarga tidak ada yang mengidap kanker.

“Kata dokter, bisa saja saya jadi pembawa pertama dalam keluarga. Nah, saya punya anak perempuan usai 13 tahun. Nanti, kalau sudah umur 25 tahun wajib cek ke dokter,” pungkasnya. (jie)