Ratna Riantiarno, Berteater itu Olahraga | OTC Digest

Ratna Riantiarno, Berteater itu Olahraga

Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Ratna Riantiarno (66 tahun) khawatir dan cemas melihat kondisi suaminya, Nano Riantiarno. Sutradara dan pendiri Teater Koma itu mengalami sesak napas; dadanya seperti diinjak gajah. Ratna menduga, suami tercinta kena serangan jantung. Dalam kebingungan, “Saya telepon teman dekat, seorang dokter THT (telinga, hidung, mulut).”

Disarankan agar suaminya dibawa ke Rumah Sakit Bintaro, yang dekat dari rumah.  Padahal, setahu Ratna, kalau kena serangan jantung mestinya dibawa ke RS Harapan Kita. Beruntung, sang suami dapat diselamatkan. “Ternyata ada yang disebut ‘periode emas’, di mana pasien jantung harus sesegera mungkin mendapat pertolongan dokter,” ujar Ratna, mengenang pengalamannya sekitar 11 tahun yang lalu.   

Sebagai ibu tiga anak dan ibu bagi keluarga besar Teater Koma (berdiri 1977), serta istri, Ratna merasa punya tanggung jawab besar agar para pemain dan tim pendukung yang jumlahnya bisa 100 orang lebih, senantiasa berada dalam keadaan sehat. Terlebih saat menjelang dan selama pertunjukan, yang berlangsung selama beberapa hari.

Betapa repotnya seorang Ratna, selain bertindak sebagai “ibu”, ia ikut main di atas panggung, mengurus promosi, produksi, dan lain-lain. Tentunya, “Saya berusaha keras agar tidak jatuh sakit.”

Mengurus anak, suami dan komunitas teater, bukan hal mudah…

Saya pernah kerja kantoran selama 10 tahun. Sorenya, latihan bersama Teater Koma; belum lagi kalau ada pertunjukan. Mas Nano pun selain mengurus teater, bekerja di majalah sampai 22 tahun. Kata teman-teman, apa nggak capek?

Yang saya lakukan adalah kesenian, yang saya cintai. Jadi, saya tidak merasa capek. Justru itu yang bikin saya semangat. Kalau kegiatan ini saya tinggalkan dan hanya mengejar materi, mungkin hidup saya malah tidak sehat.

Melakukan hal yang saya cintai, membuat hidup saya seimbang. Ini saya sadari dan membuat saya bertekad untuk tetap sehat.

Bagaimana menerjemahkan ‘sehat’ dalam kehidupan sehari-hari?

Kegiatan teater dan mengurus rumah tangga, adalah olah fisik dan olah pikir. Di teater juga ada olah tubuh, pernapasan. Sejak SMA, saya sudah terbiasa menari dan main teater. Dulu, sepulang kerja latihan tari Bali, setelah itu latihan teater di Taman Ismail Marzuki (TIM). Itu membuat saya fit.

Sekarang, menari Bali lagi bersama teman-teman yang berusia >50 tahun. Tidak ada target, hanya untuk sehat dan bernostalgia. Berteater dan menari, itu olahraga saya. Saya ingin tetap bermain sampai kapan pun saya kuat; saya rasa itu impian semua aktor dan aktris.

Pada dasarnya, saya tidak bisa diam. Saya senang berbenah. Kalau ada yang berantakan, pasti saya rapikan, ada piring kotor saya cuci. Di Teater Koma, ada tugas piket untuk menyapu, ngepel, beberes setelah latihan, nyuci piring. Meski tidak piket, saya tetap beberes. Kalau sedang tidak ada kegiatan, saya berbenah rumah, naik-turun tangga. Semua dibersihkan, sampai pembantu saya bilang, ‘Bu, sudah dong’, ha ha ha.

Sarapan, makan siang, makan malam, wajib. Sesibuk apa pun, saya tidak pernah skip makan. Disambi kerja, tetap makan; kalau makan terlambat karena ada kegiatan yang tidak bisa dihindari, saya ‘ganjal’ dengan snack, roti atau favorit saya, coklat. Tapi, sejak kolesterol tinggi, coklat dihindari.

Saya disiplin makan karena didikan ibu bahwa makan harus on time. Lapar nggak lapar, kalau sudah waktunya duduk di meja makan.

Pola makan Anda seperti apa?

Saya penggemar makanan apa saja. Kalau keluar kota, maunya coba makanan macam-macam. Dulu, makan bisa 5x sehari, tapi nggak bisa gemuk (45 kg) mungkin karena banyak beraktivitas.

Sekarang berat saya 60 kg. Sejak usia 50-an, saya mulai berpikir, makanan apa saja yang sebaiknya dihindari atau dikurangi, misalnya lemak. Nggak disiplin banget, yang penting tahu diri dan tahu batas.

Sejak kena serangan jantung, Mas Nano berhenti merokok. Sekarang lemak dan gorengan sangat dikurangi. Bagus juga, karena saya jadi ikut terbawa makan sehat.

Bagaimana agar keluarga dan keluarga besar teater tetap menjaga kesehatan?

Saya ajarkan, yang paling penting adalah cukup istirahat. Saya terbiasa bangun pagi. Menurut saya, pagi hari adalah waktu untuk berusaha, berkomunikasi dan mendapat rezeki.  Saya pikir, waktu yang prima itu jam 09.00-14.00. Mungkin karena dulu saya pernah kerja kantoran.

Anak-anak dan teman-teman di teater, senang kerja malam. Bikin properti atau kostum sampai pagi. Ada yang baru tidur jam 5 pagi. Bangunnya siang dan baru fit lagi jam 3 sore. Tidak mudah memberi pemahaman kepada mereka. 

Kalau sedang ada produksi, saya pun kadang cuma tidur 2 jam. Tapi, kalau ada waktu istirahat, meski cuma 15 menit atau setengah jam, saya tidur.  Jadi seperti Coca Cola; di mana saja kapan saja. Kalau tidurnya berkulitas, meski hanya sebentar, badan bisa kembali fit.

Bagaimana menjaga stamina menjelang pertunjukan?

Vitamin dan obat kami sediakan, dan dokter THT langganan yang bisa dipanggil selalu siap siaga. Memang, masalah yang paling sering dialami di sekitar THT. Padahal, suara adalah modal kami.

Sebisa-bisa kami tidak banyak makan gorengan, dan menjelang pertunjukan, gorengan benar-benar dihindari.

Untuk menjaga stamina, saya lebih memilih herbal ketimbang obat kimia karena banyak teman yang kena gangguan ginjal akibat kebanyakan obat; mungkin karena konsumsi obat mereka tidak terkontrol.

Saya lebih senang minum madu, jahe, atau jeruk nipis. Kalau sudah mulai serak, kupas kencur, kunyah-kunyah. Anggota teater yang lain juga begitu; yang tadinya tidak bisa mengunyah kencur, karena terpaksa jadi biasa.