Kisah Sutopo ‘BNPB’, Kanker Paru Tak Kalahkan Semangatnya untuk Terus Bekerja | OTC Digest
sutopo_bnpb_kanker_paru

Kisah Sutopo ‘BNPB’, Kanker Paru Tak Kalahkan Semangatnya untuk Terus Bekerja

Berkunjung ke lantai 11 Gedung BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) di bilangan Pramuka, Jakarta Timur, serasa mengujungi museum mini. Ada sepeda motor terbungkus tanah dan lumpur, yang sempat terkubur ketika Merapi meletus pada 2010. Beberapa diorama gunung berapi yang tengah meletus, berjajar di sisi tembok. Di tengah ruangan, terdapat simulasi letusan gunung berapi. Tak ketinggalan tempat berfoto ala Instagram. Sangat jauh dari kesan kaku gedung pemerintahan.

“Maaf ya menunggu lama. Banyak sekali yang mau wawancara, seperti artis saja saya ini,” Sutopo Purwo Nugroho menyambut ramah, dengan gaya bercandanya yang khas.

Memang padat sekali jadwal wawancaranya hari itu. Ia diundang ke kantor Kumparan, di mana sudah ada kejutan untuknya: Raisa, penyanyi favoritnya, sedang promo album terbarunya di Kumparan. Akhirnya terwujudlah tagar #RaisaMeetSutopo. Grogi nggak ketemu Raisa? “Saya menghadapi gunung meletus saja tidak nervous kok,” ia tertawa.

Sepulang dari Kumparan, sudah banyak wartawan yang menunggunya untuk wawancara, “Saya gak sadar, ternyata semua saya janjikan wawancara hari ini. Besok juga sudah ada lagi yang mau wawancara.” Capek, pastinya. Namun Pak Topo tetap melayani semua permintaan wawancara hari itu, tanpa sedikit pun mengeluh. Bahkan sampai malam dan hampir semua karyawannya sudah pulang, sikapnya tetap hangat, bersemangat dan banyak guyon selama wawancara.

Akhir-akhir ini begitu banyak bencana menimpa Indonesia. Nama Pak Topo sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB semakin dikenal luas. Ia begitu rajin mengeluarkan pernyataan resmi kepada wartawan dan menyebarkan informasi yang akurat melalui akun Twitter/Instagram pribadinya. Hingga kabar bohong/hoaks bisa cepat ditangkis. Masyrakat makin mengaguminya karena ia tetap melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya, meski sebenarnya ia sakit.

 

Kanker paru

“Saya didiagnosis kanker paru stadium IV B sejak Januari 2018. Sudah menyebar ke tulang,” ujar kelahiran Boyolali, 7 Oktober 1969. Selain ke tulang, kanker juga sudah menyebar ke kelenjar getah bening.

Gejala mulai dirasakannya sekitar November – Desember 2017. Saat itu Gunung Agung, Bali, meletus; Pak Topo begitu sibuk mengurus segala informasi dan berita terkait Gunung Agung. Terasa olehnya rasa nyeri di pinggang kiri. Batuk yang sudah menderanya seminggu lebih pun, tak kunjung reda.

Menyangka bahwa nyeri pinggangnya karena gejala penyakit jantung, ia segera periksa ke RS, tapi hasilnya normal. Ia kemudian dirujuk ke internis (dokter spesialis penyakit dalam) untuk diperiksa kondisi lambungnya. Diduga, batuknya disebabkan oleh asam lambung yang naik. Dua minggu minum obat hingga habis, ia tetap batuk-batuk.

Ia pun mulai khawatir. Berkaca dari pengalaman temannya yang tidak merokok, rajin olahraga, gaya hidupnya pun sehat, tapi ternyata kena kanker paru. Pak Topo sendiri tidak merokok, suka makan sayur dan buah, rajin renang dan fitness. Tapi memang, ia perokok pasif; banyak orang merokok di sekitarnya.

Pak Sutopo di 'museum mini' Gedung BNPB

Pak Topo memutuskan untuk periksa ke dokter spesialis paru. Dilakukanlah pemeriksaan foto sinar X (rontgent) dada, tes darah, dan CT-scan. Ternyata, pemicu batuk dan nyeri pinggangnya adalah kanker paru. Sempat ia mencari pengobatan ke sebuah RS di Malaysia. Di sana, dilakukan biopsi untuk menilai jenis kankernya, sehingga bisa ditentukan obat yang tepat. Namun ia urung menjalani kemoterapi di sana.

Menurut istrinya, akan lebih nyaman bila ia kemoterapi di Jakarta saja, agar keluarga bisa terus mendampingi selama terapi. Apalagi sehabis kemo, biasanya akan muncul berbagai keluhan, seperti rasa mual dan muntah. Toh, kualitas dan pelayanan kanker di Jakarta tidak kalah baik.

Februari 2018, Pak Topo berkonsultasi ke RS Dharmais. Di RS Pusat Kanker Nasional tersebut, ia menjalani pemeriksaan PET-scan, yakni pemeriksaan scan lengkap seluruh organ tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki, yang bisa mendeteksi penyebaran kanker.

Kanker paru yang menjangkiti Pak Topo adalah jenis adenokarsinoma, yang termasuk kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK). Adenokarsinoma merupakan jenis kanker paru yang paling banyak dijumpai. Biasanya ditemukan pada perokok, tapi Pak Topo yang tidak merokok pun ternyata bisa kena juga. Karena sudah stadium lanjut dan sudah menyebar, kanker parunya tak bisa lagi dioperasi.

Akhirnya Pak Topo memutuskan untuk menjalani pengobatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Salah satu pertimbangannya, di RS ini kemoterapi bisa diberikan dengan metode TACI (Trans Arterial Chemo Infusion). Alih-alih diberikan melalui infus di vena lengan (intravena), obat kemo dimasukkan langsung ke pembuluh darah kanker. Sehingga, efek samping dari obat kemo tidak terlalu berat ke tubuh dibandingkan kemoterapi dengan cara biasa. Namun tetap saja, “Setelah kemo sangat menyakitkan, juga muncul mual dan muntah." Selain kemo, Pak Topo juga menjalani radiasi sebanyak 30x.

 

Tetap giat bekerja

Kanker paru dan pengobatannya melemahkan fisik Pak Topo. “Awalnya saya sempat terpikir untuk berhenti jadi juru bicara (BNPB),” ungkapnya. Tapi kemudian, terjadi gempa di Jakarta, dan betebaranlah hoaks. “Saya pikir, sakit saya memang sudah digariskan, harus diterima dengan ikhlas. Saya harus terus bekerja, karena media dan masyarakat selalu menunggu informasi dari saya,” tuturnya.

Begitu ada bencana, Pak Topo selalu berusaha menyampaikan informasi yang akurat sesegera mungkin, bagaimanapun kondisinya saat itu. “Kadang saya membuat press release saat dirawat di RS, tangan diinfus,” ujarnya. Tak jarang pula ia menggelar konferensi pers di pagi hari, padahal baru saja kemoterapi. Segala keluhan yang muncul ditahannya, “Itu bagian dari tanggung jawab saya. Sekarang pun dada saya terasa sakit.”

Ini dilakukannya bukan untuk pujian atau penghargaan. “Selama itu memberi manfaat bagi orang lain, saya lakukan semua dengan ikhlas. Pekerjaan, kalau diniati dengan hati, dijalani dengan rasa ikhlas dan passion, pasti akan bagus,” ucap ayah dua anak ini.

Sejak Januari 2018, bobotnya sudah turun 21 kg, “Ini celana sudah saya kecilkan, masih kebesaran lagi.” Akibat kemoterapi pun, sudah dua bulan terakhir ini kakinya terasa kesemutan. Pembuluh darahnya juga mengecil dan mengeras, sehingga menyulitkan saat harus dipasang infus.

Kemoterapi sebanyak 6x sudah selesai dijalaninya. Pun radioterapi 30x yang dulu dilakukan setiap hari. “Sekarang istirahat dulu satu bulan. Setelah itu periksa CT scan, untuk evaluasi,” ucapnya. Dalam akun Instagramnya, ia membagikan videonya saat tengah menjalani CT scan, kemarin (13 November 2018).

Pak Topo sadar, fisiknya makin lemah. Dalam media sosialnya, ia selalu berpesan untuk selalu menjaga kesehatan, karena kalau sudah sakit, biayanya mahal. “Keputusan akhir saya serahkan pada Tuhan. Saya sudah berusaha, sudah berobat,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Mungkin umur saya tidak panjang lagi. Tapi di sisa-sisa usia saya, saya ingin berbuat kebaikan,” ujarnya. Tetap bekerja sepenuh hati adalah caranya agar terus memberi manfaat bagi orang lain, “Daripada berumur panjang tapi membuat orang lain sengsara. Tidak baik itu.”

Semangat Pak Topo memang patut diapresiasi setinggi-tingginya. Presiden Joko Widodo pun terkejut ketika ia menceritakan penyakitnya, ketika ia diundang ke Istana Kepresidenan, Bogor, 5 Oktober lalu. Ssst, Pak Topo ini termasuk pasien yang ‘bandel’. Bandel kenapa? Baca kisah selanjutnya di sini. (nid)

___________________________________

Foto: Hanida Syafriani / OTC Digest