Amankah formula susu soya untuk bayi dengan alergi susu sapi? | OTC Digest

Amankah formula susu soya untuk bayi dengan alergi susu sapi?

Data menyebutkan sekitar 7,5% anak Indonesia mengalami alergi susu sapi. Sebagai  alternatif susu sapi, formula susu soya (kedelai) direkomendasikan pada bayi dengan alergi susu sapi. Namun pemberian formula susu soya masih menimbulkan kekhawatiran untuk sebagian orangtua.

Pada bayi/anak, walau ia sudah mulai dikenalkan makanan keluarga, susu tetap dibutuhkan. Susu merupakan sumber protein dan kalsium yang baik.

Protein adalah salah satu komponen makronutrisi yang berperan penting untuk pembentukan struktur sel, membantu sel menjalankan fungsinya, dan mengatur banyak fungsi lain dalam jaringan tubuh dan organ.

Kalsium tidak hanya sebagai pembangun utama tulang dan gigi. Fungsi lain kalsium yang tak kalah penting adalah membantu proses pengiriman dan penerimaan sinyal saraf dari otak ke organ tubuh. Kalsium juga berperan dalam kontraksi otot, termasuk detakkan otot jantung.

Banyak orangtua khawatir akan tumbuh kembang bayinya saat ia menderita alegi susu sapi. Sebagai alternatif, formula susu soya direkomendasikan baik oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) atau American Academy of Pediatrics (AAP), sebagai terapi alergi susu sapi.

Susu soya merupakan produk derivikasi kedelai yang bebas protein susu sapi dan laktosa (gula dalam susu sapi yang juga bisa menyebabkan gangguan).

Menurut Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K), Ketua  IDAI Jaya (Jakarta), susu soya biasanya difortifikasi mikronutrisi lain seperti zat besi, vitamin, mineral (terutama kalsium) dan elektrolit. Kandungan energinya sekitar 67 kalori/dL.

“Dalam segelas susu soya kandungan energinya sama seperti susu sapi,” katanya.

Berdasarkan beberapa studi internasional (jurnal Pediatrics 2012, dan The British Journal of Nutrition 2014), susu soya aman dan terbukti mendukung tumbuh kembang anak.

Pola pertumbuhan, kesehatan metabolik, fungsi reproduksi, endokrin (hormon), imunitas dan fungsi neurologis tidak berbeda dengan penggunaan formula susu sapi.

“Sampai usia dewasa, berat badan, tinggi badan dan indeks masa tubuh yang mengonsumsi formula soya di awal kehidupan tidak berbeda dengan anak yang minum susu sapi,” terang Prof. Rini. “Yang perlu diingat anak tetap harus mengonsumsi sumber protein lain seperti dari daging, ikan atau ayam.”

Yang tidak direkomendasikan untuk diberikan susu soya adalah bayi lahir prematur atau dengan berat kurang dari 1800 gram. Mereka belum memiliki sistem imun kuat, dan membutuhkan sumber protein yang baik.

Pemberian susu soya justru berisiko menyebabkan osteopenia. Untuk bayi prematur atau memiliki berat < 1800 gram dengan alergi susu sapi, diberikan formula susu sapi terhidrolisa (molekul proteinnya sudah dipecah menjadi bentuk lebih kecil, sehingga bisa dicerna).

Fitoestrogen dalam kedelai

Yang dikawatirkan banyak orang tua adalah kandungan fitoestrogen (hormon estrogen yang diproduksi tanaman) dalam kedelai.

Kelebihan hormon estrogen pada pria dapat menyebabkan pembesaran payudara (ginekomastia), melambat pertumbuhan rambut jenggot dan menghilangnya rambut di tangan dan kaki. Yang ditakutkan, kelebihan estrogen dapat menyebakan gangguan ereksi. Sementara pada wanita dihubungkan sebagai pemicu kanker payudara.  

“Fitoestrogen berpotensi memberikan dampak jika paparan / dikonsumsi dalam jumlah banyak dan dalam jangka panjang. Sementara dalam kemasan formula susu soya kandungannya tidak banyak.

“Fitoestrogen kan estrogen yang ditambahkan, tetapi seberapapun tambahannya tidak menyebabkan imbalance hormon estrogen dan testosteron, tidak berarti akan menekan pertumbuhan testosteron. Sehingga tidak mengganggu pertumbuhan anak laki-laki. Tidak juga memicu pembesaran payudara pada laki-laki,” tegas Prof. Rini.

Apakah harus konsumsi susu soya seumur hidup?

Kondisi alergi susu sapi pada bayi pada umumnya tidak berlangsung seumur hidup. Seiring pertambahan usia gejala alergi susu sapi akan hilang; tubuh mampu menerima susu sapi atau produk turunannya (keju dan yogurt).

Namun hal tersebut, tukas Prof. Rini, harus dikondisikan, yakni dengan melakukan provokasi (mengenalkan) makanan yang mengandung susu sapi.

“Harus dipantau ketat supaya bila diberi susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi, misalnya biskuit, tidak menimbulkan gejala alergi yang berat. Provokasi diberikan bila anak berusia di atas 1 tahun. Harus tarik ulur, bila timbul gejala alergi segera hentikan,” tutup Prof. Rini. (jie)