Fitofarmaka sebagai Substitusi Obat Sintetis | OTC Digest

Fitofarmaka sebagai Substitusi Obat Sintetis

Sebagian orang merasa lebih aman dan nyaman minum obat yang berbahan herbal. Kini di pasaran, makin banyak kita jumpai obat-obatan fitofarmaka. “Fitofarmaka bukan jamu, bukan obat herbal terstandar, bukan pula suplemen. Ini adalah obat berbahan alami, sudah melewati uji klinis yang membuktikan manfaatnya untuk indikasi penyakit tertentu,” tutur CEO Dexa Group Ferry Soetikno.

Sekadar informasi, jamu adalah ramuan dari bahan alami, yang diproses dengan peralatan sederhana. Khasiatnya terbukti berdasarkan pengalaman turun temurun. Contohnya, jamu gendong seperti kunyit asam atau beras kencur. Adapun obat herbal terstandar adalah obat berbahan herbal yang bahan bakunya telah distandarisasi, dan diproduksi di fasilitas modern sesuai kaidah CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Klaim khasiatnya telah dibuktikan secara ilmiah, melalui uji praklinis menggunakan hewan di lab.

Bisa dibilang, fitofarmaka adalah yang tingkatannya paling tinggi dalam kelompok obat berbahan alami. Selain melewati uji praklinis, fitofarmaka juga sudah lulus uji klinis dengan diujikan ke sukarelawan (manusia). Kelas fitofarmaka setara dengan obat sintetis, bahkan bisa diresepkan oleh dokter, sebagai pengganti/substitusi obat sintetis dengan indikasi yang sama.

Penggunaan fitofarmaka berbahan tanaman asli Indonesia bisa turut mengurangi kebutuhan akan impor bahan baku obat. Misalnya untuk indikasi penyakit A, ada beberapa pilihan obat sintetis. “Tapi sebenarnya untuk indikasi tersebut sudah ada fitofarmakanya. Kita telah sampai di ambang pintu pengambilan keputusan, apakah mau menggunakan fitofarmaka untuk menggantikan obat yang lain,” ujar Ferry, saat dijumpai dalam Penganugerahan Dexa Award Science Scholarship (DASS) 2019 di Bintaro, Kamis (27/06/2019).

Penganugerahan DASS 2019 / Foto: Dexa Group

Alam Indonesia begitu kaya akan keragaman tanaman yang berkhasiat obat. PT Dexa Medica termasuk perusahaan farmasi yang gencar melakukan riset tanaman obat untuk mengembangkan fitofarmaka. “Bila makin banyak obat herbal berstatus fitofarmaka, pilihan pasien pun akan makin luas,” imbuhnya.

Beberapa pendaftar DASS 2019 pun ada yang memanfaatkan zat alam untuk pengobatan. Bukan hanya herbal (tanaman), tapi juga bahan-bahan alami lainnya. “Salah satu pemenang membuat perangkat untuk mengobati kanker, berbahan logam. Ada juga yang memanfaatkan bahan alami sebagai antivirus,” ungkap Prof. Dr. Ir. Maggy T. Widjaja dari IPB (Institut Pertanian Bogor), yang menjadi salah satu juri DASS 2019. Menurutnya, ada yang berpeluang untuk dikembangkan sebagai fitofarmaka.

Prof. Maggy menilai, riset mengenai fitofarmaka sudah sangat berkembang. Ada penelitian yang mengarah ke fitofarmaka sebagai antikanker, “Risetnya sudah sampai ke pola lakunya terhadap sel kultur, sel kanker, percobaan pada tikus, dan sebagainya.” Banyak obat sintetis yang awalnya berasal dari bahan alami. “Seperti beberapa obat antikanker, sebelum dimurnikan dan diformulasi menjadi obat kemo, awalnya berasal dari bahan alam. Memang perkembangan fitofarmaka membutuhkan riset,” tambahnya.

Dalam Penganugerahan DASS 2019, terpilih tiga orang mahasiswa/i sebagai pemenang, dari 1.664 pendaftar. Mereka mendapat beasiswa atau biaya riset hingga total Rp 1 miliar, dan bebas memilih kampus S2 terakreditasi A di seluruh Indonesia. Para pelamar adalah mahasiswa/i dari beragam latar belakang keilmuan, dari 34 provinsi di Indonesia. (nid)